Minggu, 14 Januari 2018

LUNA AIR (Bagian 1-71)


LUNA AIR

Kisah lengkapnya baca di : https://www.facebook.com/tania.limanto2/media_set?set=a.1471647156288157.1073741930.100003286597577&type=3

LUNA (1)

Kota ini memang kecil. Aku melihatnya di sana, tepat di sudut ruangan itu, dengan kopi Starbuck di mejanya. Aku menunggu kopiku. Ketika namaku dipanggil, wajah itu terangkat dan menatapku. Lalu tersenyum padaku.

Dengan kopi di tanganku aku berjalan menuju ke arahnya. Sudah 8 tahun berlalu. Saat kuputuskan untuk pergi meninggalkan cintanya, mengejar cita-citaku. Bertahun-tahun dengan de
retan SMS yang tak kenal jeda, lalu berhenti saat aku mengganti nopeku.

Dia masih sendiri. Masih terlihat tampan. Lelaki terbaik yang pernah kutemui selama ini. Ah. Cintaku masih tetap untuknya.

"Nathan."
"Hallo, Luna. Sendirian?"
"Iya. Kamu juga?"

Seorang perempuan berjalan masuk dan menuju ke tempat duduk kami. Nathan berdiri dan mengapit pinggangnya.

"Luna, ini Mitha, istriku. Kami menikah dua tahun yang lalu."

Dan kopiku, mendadak terasa asin di lidahku.

#TaniaLuna

 NATHAN (2)

"Luna." Kudengar barista itu memanggil sebuah nama. Kepalaku mendongak. Dan perempuan itu berdiri di sana. Mimpi yang tak sempat teraih. Yang menghilang beberapa tahun yang lalu.

"Aku tak mungkin hidup di kota ini bersamamu, Nathan, dan melepaskan kesempatanku untuk melanjutkan pendidikan S2 ke Amerika dengan Beasiswa Fulbright."

Delapan tahun berlalu. Dan gadis itu ada di sini. Senyum yang masih sama. Semangat yang masih sama.

Dia berjalan ke arahku. Menyapaku. "Nathan."
Ah. Dia telah melakukan pilihan yang tepat. Saat ini dia tampak begitu cemerlang. Jika saja waktu itu dia memilih bersamaku, dia akan berakhir di kota kecil ini hanya sebagai istri dari seorang pemilik toko beras.

"Hallo Luna. Kau sendirian?" tanyaku.
"Iya. Kamu?"

Dari sudut mataku kulihat Mitha berjalan ke arah kami. "Luna, ini Mitha, istriku. Kami menikah dua tahun yang lalu."

Luna. Kubayangkan diriku jika saat ini harus berdiri di sampingmu. Betapa kecil dan tidak berartinya aku. Bagaikan pungguk yang merindukan bulan.

#TaniaLuna

LUNA (3)

"Aku bertemu Nathan, Mama." kataku saat tiba di rumah. "Dia sudah menikah."

"Iya, Luna. Bukankah Mama sudah katakan padamu dulu, agar kau jangan pergi? Sebab kebahagiaan seorang wanita, adalah jika dia menikah dan punya keluarga."

Ah. Tak ada gunanya bicara dengan Mama. Inilah sebabnya mengapa selama 8 tahun ini aku memilih untuk tidak pulang. Pemikirannya terlalu sederhana. Baginya, aku ini hanya seorang perempuan yang mempermalukan keluarga karena sampai di usia ini masih belum juga menikah. 

"Siapa yang berani menikah denganmu sekarang, Luna?" 

Aku diam. Malas berdebat. Tiga hari lagi aku di sini, sampai acara pernikahan adikku selesai, menerima semua penghinaan sebagai kakak yang dilangkahin oleh adiknya, dan lalu aku kembali ke Jakarta.

"Mama mengundang Nathan ke pernikahan Sekar," kata Mama sebelum aku menutup pintu kamarku.

#TaniaLuna
 GERHANA (4)

“Pulang. Kembali ke tempat ini. Dan bertemu kembali dengan mantan. Masih seperti dulu. Dan cintaku.. Masih saja menuju padanya. Tapi...”

Luna mengetikkan kalimat itu di status FB-nya dan mempostkannya.

“Tapi dia sudah menikah. 
https://static.xx.fbcdn.net/images/emoji.php/v9/f99/1.5/16/1f62d.png😭https://static.xx.fbcdn.net/images/emoji.php/v9/f99/1.5/16/1f62d.png😭https://static.xx.fbcdn.net/images/emoji.php/v9/f99/1.5/16/1f62d.png😭

Deg! Gerhana memberikan komentar. Akun itu sudah sejak beberapa bulan lalu berteman dengan akun Luna Air. Akun kosong tanpa identitas seperti akunku. Nama akunnya Gerhana Matahari. 

“Kok tau?” Kuketikkan balasan komen di bawahnya.

“Hanya menebak. Karena kalimatnya menggantung sedih seperti itu.” Lalu muncul lagi komen berikutnya: “Apakah dia adalah pemilik setiap puisimu di sini?”

Penasaran, aku mengklik namanya. Masuk ke bio-nya. Kosong. Masuk ke album fotonya. Penuh dengan foto google. Beberapa foto pribadi di sana, tapi tak ada satupun foto dirinya. Berandanya penuh dengan status2 politik dan sarkas yang cerdas. 

“Bukan urusanmu!” 

Aku menekan sebuah tombol.
Log out.
Aku tak tertarik pada hantu.

#TaniaLuna

SEKAR (5)

“Ce..” Seraut wajah muncul di celah pintu.
“Sekar. Ada apa?” Aku menatap padanya yang melangkah masuk dan duduk di tepi tempat tidurku. Usia kami berjarak 5 tahun. Cukup untuk menjadikan kami tidak terlalu dekat selama ini. Apalagi sejak aku melanjutkan kuliahku dan kost di kota lain.

“Aku minta maaf, karena melangkahi Cece. Sebenarnya aku ingin menunggu sampai Cece menikah duluan. Tapi Mamanya Dika sudah tidak bisa menunggu lagi.”

Aku tertawa. “Sekar. Ndak masalah kok kalau kamu melangkahi aku. Yang penting kau bahagia. Lah aku sendiri pun belum tau kapan menikah dan menikah sama siapa.”

“Ce, kemarin ada seorang perempuan mengirim inbox ke FB-ku.” Sekar mengeluarkan smartphonenya. Membuka messengernya. Dan memperlihatkannya padaku.

Akun kloningan bernama Senja Merah. Dan isinya, foto2 Dika dalam berbagai pose. Termasuk satu foto sebuah tangan yang memegang alat kelamin yang sedang mengacung. Vulgar. 

Foto Dika-kah?? Dengan pria inikah, Sekar akan menikah?

#TaniaLuna
SEKAR (6)

“Ndak mungkin kau batalkan pernikahanmu hanya karena inbox ndak jelas seperti ini, Sekar. Apa kata Mama? Apa kata tetangga? Pernikahanmu hanya tinggal menghitung hari. Undangan, makanan, foto prewed semua sudah selesai,” kataku padanya.

Wajahnya bergayut mendung. Sekar memang berbeda denganku. Dia tidak punya pribadi yang kuat. Dia ikut ke mana jari menunjuk. Makanya dia menjadi kesayangan Mama. Dialah anak berbakti, dan akulah anak durhaka, pemberontak sejati. 

Itu kata-kata terakhirku pada Sekar yang kuingat sampai hari ini. Karena delapan bulan kemudian, aku harus kembali ke kota ini, menghadiri pemakaman Sekar. Dia mengalami perdarahan karena terjatuh di tangga, dalam keadaan hamil besar, mencoba menghindar dari tangan Dika yang mengepal menuju hidungnya...

Sampai saat ini, aku belum bisa memaafkan diriku..

#TaniaLuna
PERNIKAHAN SEKAR (7)

Jika kau adalah kakak yang dilangkahi oleh adikmu, maka selama prosesi pernikahan itu, kau harus “disembunyikan”. 
Kau juga harus berdiri di tempat yang lebih tinggi untuk menunjukkan bahwa kaulah “sang kakak”. Jika rumahmu bertingkat, maka di tingkat dualah tempatmu. Tapi jika tidak, kau harus berdiri di atas kursi.

“Adat terkutuk,” aku mengutuk.

Mungkin memang dengan tujuan itulah adat itu dibuat, untuk mempermalukan sang kakak yang didahului oleh adiknya menikah. Agar di dunia ini tidak akan ada satu pun kakak yang mau dilangkahi oleh adiknya, agar sang adik merasa bersalah telah melangkahi kakaknya.

Mungkin. 

Kelak jika aku punya anak, aku bersumpah tak akan pernah melakukan adat pelangkahan yang menghina derajat sang kakak seperti ini. 

Pesta malam itu berlangsung dengan baik. Nathan datang bersama Mitha. Dia adalah masa laluku, yang tak akan menjadi masa depanku. Tidak ada yang perlu diceritakan lagi tentang dia, selain selembar tisu yang dia berikan padaku saat dia berjalan menuju toilet sambil meninggalkan senyum, dengan 12 angka di dalamnya.

#TaniaLuna
PERNIKAHAN SEKAR (7)

Jika kau adalah kakak yang dilangkahi oleh adikmu, maka selama prosesi pernikahan itu, kau harus “disembunyikan”. 
Kau juga harus berdiri di tempat yang lebih tinggi untuk menunjukkan bahwa kaulah “sang kakak”. Jika rumahmu bertingkat, maka di tingkat dualah tempatmu. Tapi jika tidak, kau harus berdiri di atas kursi.

“Adat terkutuk,” aku mengutuk.

Mungkin memang dengan tujuan itulah adat itu dibuat, untuk mempermalukan sang kakak yang didahului oleh adiknya menikah. Agar di dunia ini tidak akan ada satu pun kakak yang mau dilangkahi oleh adiknya, agar sang adik merasa bersalah telah melangkahi kakaknya.

Mungkin. 

Kelak jika aku punya anak, aku bersumpah tak akan pernah melakukan adat pelangkahan yang menghina derajat sang kakak seperti ini. 

Pesta malam itu berlangsung dengan baik. Nathan datang bersama Mitha. Dia adalah masa laluku, yang tak akan menjadi masa depanku. Tidak ada yang perlu diceritakan lagi tentang dia, selain selembar tisu yang dia berikan padaku saat dia berjalan menuju toilet sambil meninggalkan senyum, dengan 12 angka di dalamnya.

#TaniaLuna
GERHANA (8)

||Gerhana Matahari.

Jika kau tau arti kehilangan, kau akan tau bagaimana seharusnya menjaga.||

Status itu muncul di urutan teratas berandaku.

“Kau kehilangan siapa?? Aku pun.. baru saja kehilangan adikku..” Kutinggalkan komenku di sana.

“Sunyi yang seolah beku, dengan semua rasa bersalah, dan harus menghadapi jari-jari yang menuding menghakimi.”

Jawaban atas pertanyaanku berupa puisi yang abstrak. Aku terdiam. Menyadari bahwa mungkin pertanyaanku terlalu mencampuri kehidupan pribadinya.

“Aku kehilangan istriku,” Tiba2 inbox di FB-ku menyala. 

Aku terdiam. Kebetulan? Atau mungkinkah.. ??

#TaniaLuna
ANDIKA (9)

“Andika Halim mengconfirmed permintaan temanmu.”

Aku terdiam menatap notifikasi di FB-ku. Dika. Malam itu setelah pembicaraan dengan Sekar, aku menambahkannya sebagai teman Luna Air.

Ini akun kosong. Tak mungkin dia tau kalau aku adalah kakak Sekar, istrinya. 

Aku juga mencari akun Senja Merah yang ditunjukkan oleh Sekar padaku malam itu, tetapi akun itu sudah menghilang. Entah deaktif, atau kena razia si Mark. 

Jadi sekarang Andika dan Luna Air sudah berteman. Aku ingin tau, bagaimana dirinya, di balik status FB-nya yang tampak bijak itu. Benarkah semua yang dikatakan oleh akun Senja Merah itu tentang Dika??

#TaniaLuna
LINE (10)

"Nathan added you as a friend by phone number."

Hah?? Dengan galau aku melihat notifikasi pop up di dalam HP-ku. Perasaan aku tidak pernah memberikan nopeku pada Nathan..

Oh ya. Dua belas nomor yang diberikan Nathan padaku waktu itu.. Aku save ke dalam daftar kontakku. Dan fasilitas LINE langsung menambahkannya sebagai teman, ketika mendeteksi nomornya. 

https://static.xx.fbcdn.net/images/emoji.php/v9/fa5/1.5/16/1f642.png🙂 " 

Sebuah emoji senyum masuk ke LINE-ku. 

Aku galau. Accept.. atau reject..??

"Dia itu suami orang, Luna!" Akal sehatku memberikan peringatan. Tetapi jempolku menekan tombol "accept". Memangnya salah kah berteman sama mantan? Aku mencari pembenaran.

#TaniaLuna
INBOX DIKA (11)

“Hai. Ke mana saja? Kenapa ndak update status seharian? Aku kangen.”
Inbox dari Andika. 

Hmm.. Aku diam. Menimbang. Haruskah aku abaikan? Atau membalas inboxnya? Aku ingin tau.. 

“Iya. Gw sibuk seharian ini. Ndak sempat bikin status.” 

“Luna tinggal di mana sekarang? Boleh minta nopenya? Kerja atau kuliah? Kok ndak ada foto dirinya ya?” 

Rentetan pertanyaan membombardir inboxku. Jika saja dia bukan Dika, sudah sejak tadi aku tendang keluar. Tapi aku ingin tau sampai sejauh mana dia akan merayuku di inbox. Jika memang terbukti, aku akan memberitahukan pada Sekar semua kelakuannya ini nanti.

“Sorry, gw ndak suka ditanya2 soal identitas pribadi. Apalagi kita baru saja kenal dan berteman.” 

Andika typing.. typing.. typing.. tapi tidak ada lagi inbox yang masuk. 

Beberapa hari tanpa kabar, tau-tau inboxku menyala lagi. 

“Ini nopeku. Jika suatu hari aku tidak onlen di FB, kau masih bisa menghubungiku. FB ku bermasalah sehingga beberapa hari ini aku ndak bisa log-in..”

Kubiarkan inbox itu tidak berjawab. Aku tak butuh nopenya.

#TaniaLuna
AKU RINDU (12)

“Aku rindu”, inbox dari Dika.
Inbox-inbox sejenis itu mulai sering muncul di tempatku. Aku menanggapi dengan baik. Mencoba mengikuti arah permainan.

Dika juga mulai rajin memberikan komentar di setiap status FB-ku. Berbalas komen biasa kami lakukan di dinding maya ini.

Sebentar lagi, Sekar.. Akan kubuktikan bahwa Dika memang bajingan. Dan aku akan mendukungmu untuk mengajukan cerai padanya. 

“Kenapa tidak pernah menelponku?” Tanya Dika.

“Aku ndak punya pulsa.” Jawabku ringan.

“Berapa nomormu? Akan kukirimkan pulsa untukmu. Atau.. biar aku saja yang menelponmu..”

Tengah malam.. Messengerku berbunyi. Telepon dari Dika. Aku menerimanya. Sekedar membuktikan padanya, bahwa aku nyata. Aku perempuan. Aku Luna.

#TaniaLuna
~Photo by Lily Alfanz
MAAFKAN AKU (13)

Malam ini, setelah beberapa minggu tanpa kabar, seminggu setelah kematian Sekar, tiba2 inboxku menyala lagi.
Dari Dika. 

“Istriku menemukan pembicaraan kita, dan menuntut ingin bertemu denganmu.. Kami bertengkar hebat. Aku ingin jujur padanya, kukatakan padanya bahwa aku jatuh cinfa padamu.. Dan.. dia kalap.. Kecelakaan terjadi.. “

Aku kehilangan kata-kata. Sekar..??

Rasanya seperti dihantam oleh palu Thor, tepat ke ulu hatiku. Pisau yang menikam di jantungku. Dan aku mati. 

Luna! Luna!! 

Betapa jahanamnya kamu.

Adikmu mati karena kamu.

Maafkan aku.. 
Maafkanlah aku.. Sekar..

Ribuan kali kuulang kata itu sampai tak kuingat lagi sakitnya jantungku yang seperti ditarik keluar dari dalam tubuhku.

Maafkanlah aku...

Malam itu juga, akun Andika Halim aku blokir. 

#TaniaLuna
GERHANA (14)

Mengapa laki2 itu selalu ada di setiap statusnya?? Andika Halim. Siapa dia? Gerhana mendengus kesal. Dan dia.. Luna.. bersikap tidak seperti biasanya. Biasanya dia selalu ketus pada setiap akun pria yang mencoba merayunya. Tapi ini..

Malah sengaja dimention2. Sengaja mencari2 bahan pembicaraan. Merayu. Menggoda. Padahal laki2 itu adalah pria beristri.

Damn! 

Kenapa kamu Gerhana? Cemburu?? 

Emangnya kau punya alasan untuk cemburu?? 

Gerhana menghela nafas panjang. Meredakan amarah. Gagal. 

#TaniaLuna
~Photo by 
Oryza Sativa
PERAYU (15)

“Ah. Ternyata Luna Air hanya akun perempuan murahan penggoda lelaki.”
Inbox dari Gerhana membuatku terdiam.

“Maksudmu apa?”

“Aku melihat bagaimana kau merayu Andika Halim. Ndak nyangka aja, ternyata selera Luna seperti itu.”

Aku terdiam. Aku ingin menjelaskan.. tapi tidak bisa. Apa yang bisa kukatakan pada Gerhana? Bahwa Andika itu adalah adik iparku?? Dan aku sedang menyelidiki indikasi perselingkuhannya dari inbox Senja Merah? Penjelasan itu hanya akan membuka identitasku. 

Gerhana bukan siapa-siapaku. Memangnya dia siapa, sehingga dia merasa pantas menghakimi aku??

Tapi kenapa.. hatiku terasa begitu sakit, dituduh sebagai perempuan murahan penggoda laki2 oleh Gerhana?

Emang siapa yang kugoda di sini??!!
Memangnya Gerhana itu siapaku?!

#TaniaLuna
KAYANG (16)

“Besok kau akan mewawancarai Gubernur DKI baru. Ingat ya. Objektif. Jangan karena jagoanmu kalah, lalu kau menyerangnya dengan sadis.” Kayang tertawa.

“Jagoanku kalah bukan masalah. Tapi jangan pakai isu agama untuk memenjarakan dia dong!” jawabku sengit.

“Setiap orang akan belajar dari kesalahannya. Juga kamu, Luna. Dan pembelajaran itu akan berhasil dengan baik atau tidak, tergantung cara kita menghadapi masalahnya.” 

Aku terdiam. Memang benar. Ada saatnya kita terlalu lelah berenang melawan arus. Dan jika kita terus melakukannya, kita hanya akan mati sia-sia. Melawan bukan solusi setiap masalah. Ada waktunya kita cukup diam, mengambang, dan cukup menjaga agar jantung kita tetap berdetak, dan membiarkan semesta mengambil alih takdir kita.

Selamat datang November. Tolong jaga agar jantungku tetap berdetak.

#TaniaLuna
MITHA (17)

Oh, itu yang namanya Luna. Perempuan yang meninggalkan Nathan karena memilih mengambil beasiswa S2 ke Amrik. Selama ini aku tau dari cerita Nathan ketika wajahnya muncul di layar kaca. 

Aku tau dia pulang untuk menghadiri pernikahan adiknya. Kemarin ibunya datang menyampaikan undangan ke toko Nathan. Dan aku ingat, Nathan sempat bertanya ke ibu itu, berapa anak Luna sekarang. Dan ibu Luna menjawab bahwa Luna belum menikah. Dia pulang untuk pernikahan adiknya, dan sekaligus menjalankan adat pelangkahan. 

"Kau masih mencintai Luna, Ko?" tanyaku saat sosok Luna menjauh dari kami, di Starbuck itu. 

Nathan tersenyum dan merangkul bahuku. "Sekarang aku sudah memiliki kamu untuk kucintai."

Aku tersenyum. Meraba perutku. Dan teringat pada dua garis yang muncul di test pack tadi pagi. Akan kuberitahukan kabar gembira ini pada Nathan, saat ulang tahun pernikahan kami yang ke-2 nanti. 

#TaniaLuna
DITA (18)

“Mbak Luna, ada Dita di bawah,” kata Pak Satpam Darmadi waktu kuangkat teleponku.
“Baik, Pak. Sebentar lagi saya turun.”

Aku keluar dari ruangan, dan mampir ke kantin kantor. Membeli sebungkus nasi dan dua potong ayam, serta sedikit sayuran. Lalu menuju ke pos satpam.

Anak perempuan itu ada di sana. Namanya Dita. Umur 10 tahun, kelas 3 SD. Setiap sore berjualan kue sepulang sekolah untuk membantu ibunya yang jadi buruh cuci di sekitar lingkungan perumahan dekat kampung mereka.

Dengan malu2 anak itu itu mengulurkan sebuah kartu SPP sekolah padaku, dan juga beberapa lembar kertas ulangan sekolahnya. Nilainya selalu bagus. Paling rendah 80. Banyak yang 100.

“Keren kamu,” kataku. Lalu memberikan paraf kecil di sudut kertas ulangan itu. Menyerahkan sebuah amplop. “Ini untuk uang sekolahmu bulan ini. Dan ini..” Kuulurkan bungkusan nasi itu padanya, “Untuk makan malammu.” 

Dita tersenyum, meraih bungkusan dan amplop yang kuserahkan. “Makasih, Kak.” 

Aku memilih beberapa kue yang dia jual, dan membayarnya. Lalu kembali ke ruanganku. 

Jika Tuhan terlalu sibuk mengurusi permohonan milyaran manusia.. Mungkin kita bisa mencoba menjadi salah satu dari Dia. 

#TaniaLuna
GERHANA (19)

"Kok Dika sudah lama ndak komen lagi di tempatmu?" Tiba-tiba inbox dari Gerhana muncul. 

"Dia dah gw blokir," jawabku singkat.

"Oh. Lagi bertengkar ya? Ciyeee... Pasangan baru sedang bertengkar..." 

Aku diam saja. Ada urusan apa dia dengan Dika. Apa dia kira aku bisa melupakan semua kata-katanya tentangku beberapa hari yang lalu? 

"Kamu tau kan, kalau Dika itu sudah beristri?" tanya Gerhana.

"Istrinya barusan meninggal,” jawabku. 

"Oh. Berarti sekarang kau bebas dong pacaran dan bercinta dengannya?!"

Aku mengarahkan cursorku ke tanda roda di messanger, dan menekan tombol "block messages".

Aku tak punya waktu untuk orang-orang yang memilih kata-kata benci daripada mencoba untuk menyampaikan maksudnya dengan bertanya baik-baik. Apalagi untuk sebuah akun hantu.

#TaniaLuna
LUNA (20)

Sudah berbulan-bulan aku tau ada benjolan di ketiak kiriku. Mulanya kecil, cuma sekitar 2 cm. Dan tidak terasa sakit. Sekarang sepertinya benjolan itu bertambah besar.

Aku tau kalau benjolan ini harus segera diperiksa. Ada kemungkinan berbahaya. Tetapi kesibukan beberapa bulan terakhir ini membuatku melupakannya sejenak.

Dan jujur saja, di dasar hatiku, ada ketakutan yang sangat tidak masuk akal. Aku belum siap menghadapi jawaban dokter, jika hasilnya tidak seperti yang kuharapkan...

Jadi, kau mau menunggu sampai kapan? Apakah waktu yang terus berlalu bisa menghilangkan kenyataan yang akan terpampang di hadapanmu?

Begitu mudah kita bicara tentang keberanian menghadapi penyakit... Tetapi ketika itu terjadi pada kita, akal sehat seolah lenyap oleh ketakutan yang bahkan tak sanggup kita mengerti.

Bagaimana jika... 

#TaniaLuna
TUHAN (21)

Akhirnya aku mendatangi sebuah rumahsakit yang cukup terkenal di sini. Menemui dokter onkologi untuk memeriksakan benjolan di ketiak kiri. 

Apakah Tuhan itu ada? Sudah sejak lama aku mempertanyakan hal itu. Tetapi ketika kau perlu langit untuk melambungkan harapmu, maka Tuhanlah tempat doamu menuju.

Bukankah begitulah cara kita menjalani hidup? Dari satu asa ke asa lain, dari satu harap ke harap lain. Menghadapi kenyataan yang sering kali tidak sesuai dengan harapan, susah payah berpegang pada tali rapuh bernama doa.. Percaya pada satu sosok fana yang kau sebut Tuhan?

Menurut Yayasan Kanker Indonesia, jumlah pengidap kanker di Indonesia naik dari 17,8 juta jiwa (di tahun 2016) menjadi 21,7 juta jiwa (di tahun 2017). Data yang cukup menakutkan. 

Karena aku sungkan terhadap dokter pria, maka aku sengaja memilih dokter wanita untuk memeriksakan benjolan ini. Dia melakukan pemeriksaan fisik yang cukup detail, sebelum akhirnya menyarankanku untuk melakukan mammografi dan ultrasonografi. 

Hasilnya masih harus menunggu.. 

#TaniaLuna
VONIS (22)

Apa yang akan kau lakukan, jika setelah pemeriksaan USG dan Mammografi, kau lalu diminta untuk melakukan biopsi, dan sampai pada kesimpulan bahwa kau harus menjalani serangkaian terapi radiasi, kemoterapi, dan terapi hormon, yang kemudian akan dilanjutkan dengan mastektomi?

Perempuan tanpa payudara.

Dengan kemungkinan bertahan hidup yang kurang dari 50%.

Apakah hidup selalu seadil ini? 

Ini bukan akhir segalanya. Tuhan mencintaimu Luna. Dia tak akan memberikanmu cobaan melebihi apa yang mampu kau tanggung. 

Persetan dengan Tuhan!!! Aku berteriak di dalam keputusasaanku. Aku tidak ingin Dia mencintaiku! Aku tidak cukup kuat untuk menjalani cobaan ini! Mengapa dia harus mencobaiku seperti ini??!! 

......aku tidak butuh cintamu, Tuhan... Jika caraMu mencintaiku adalah seperti ini....

#TaniaLuna
TENGGELAM (23)

“Kamu kenapa? Ada masalahkah?”
LINE dari Nathan. 
“Hah? Kok bisa bilang begitu?” tanyaku basa-basi.
“Iya, aku lihat PP-mu. Hitam. Gelap. Kosong. Ada apakah?”

Aku terdiam. Gamang. Aku butuh seseorang untuk berbagi. Untuk bertukar pikiran. Tapi Nathan.. Bolehkah dia menjadi “seseorang” itu bagiku?? 

Lalu “menjual” rasa sakit dan penderitaan, untuk mendapatkan simpati dan cinta dari Nathan?? Seperti itukah Luna? Memanfaatkan penyakitnya untuk mendapatkan puk-puk dari Nathan?

“Aku kena kanker payudara...” 

Akhirnya kutuliskan sebaris kalimat itu, dan mulai menangis lagi. 

Hapeku berbunyi. Video Call dari Nathan...

#TaniaLuna
Pic: SS dari Drakor. 
Caption by Luna: Tolong aku.. Jangan biarkan aku mati tenggelam di samudra biru..

KAYANG (24).

Hidup ini, apa yang kau cari?
Hidup yang panjang, tapi tanpa makna? Berjuang hanya untuk nama??

Luna. Kehidupan ini berarti, bukan karena lama atau singkatnya. Tapi adalah apa yang berarti dan berani kita genggam untuk bahagia, walau harus mengorbankan nama. 

Kayang meraih tanganku dan menggenggamnya erat. “Kapan kau akan memberitahukan pada ibumu tentang hal ini?” tanyanya. 

Kayang adalah lelaki metro yang gay. Dia punya pacar seorang pria, yang sampai sekarang tidak berani dia publish. Hanya padaku dia dengan jujur menceritakan semua kisahnya. Juga tentang ketakutannya akan hujatan dan cemooh masyarakat. 

Itu sebabnya dia tidak menikah. Dia tidak bisa menikahi seorang wanita hanya demi sebuah status, tetapi mengingkari kata hati dan tubuhnya. Walau dia punya tampang keren dan tergolong tajir, dengan ortu yang adalah salah satu konglomerat di Indonesia, sehingga sangat mungkin dia menemukan seorang wanita yang bersedia menikah dengannya demi sebuah status dan nama.

Aku tak akan melakukannya, Luna. Biarlah aku tidak menikah seumur hidupku, jika negara ini belum bisa melegalkan pernikahan sejenis...

Lalu... Luna... Apa kau kira hanya kau yang sedang berjuang untuk bisa hidup?? Apa kau pikir hanya kau yang paling menderita di dunia ini??

#TaniaLuna
#GooglePic

MASALALU (25).

Dulu aku sempat jatuh cinta sama Kayang. Perhatian, kalem, cerdas, bijaksana, keren, kaya.. Apalagi coba yang kurang?? Banyak karyawan perempuan yang selalu berusaha merebut perhatiannya, termasuk juga aku. 

Kayang bersahabat dekat denganku. Bisa dibilang.. Dia memanjakanku. Maka ketika aku mengakui di hadapannya, bahwa aku jatuh cinta padanya, akhirnya dia memberitahukan padaku rahasia hidupnya yang hampir tidak pernah dia ceritakan pada siapapun. 

Lalu apakah aku patah hati? Iya. Tapi biarpun patah hati, aku tidak sampai kehilangan sahabat. Bahkan setelah itu, persahabatan kami menjadi lebih kuat dan dekat. 

"Kapan kau memberitahukan pada ibumu?" 

Kapan waktu yang tepat untuk menyampaikan kabar ini ke ibu? Sebab bagaimanapun... Jika aku harus menjalani serangkaian kemoterapi, harus ada ibu yang datang menemaniku di sini. 

Pikiranku melayang pada vicall Nathan kemarin yang tidak kuangkat, dan menyesali mengapa aku begitu emosi waktu itu. Seharusnya aku tahu, Nathan hanyalah kisah masa lalu, dan aku tak ingin kembali lagi ke masa itu. Tidak dengan menjual rasa sakitku untuk mendapatkan sebuah perhatian dari cinta yang kini sudah menjadi suami orang. 

#TaniaLuna
MAMA (26)

“Mama sudah kehilangan Sekar, dan sekarang harus menghadapi kemungkinan kehilangan kamu.” Perempuan itu menangis histeris. Aku diam di ujung telepon. Aku bisa merasakan sakit dan cintanya yang begitu besar padaku. 

Ternyata, penyakit ini membuatku menyadari, betapa absurbnya semua pertengkaran kami selama ini. Bahwa ada cinta yang begitu besar, yang selama ini hampir tak pernah kurasakan, karena egoku yang terus berbenturan dengannya.

Sampai di usia segini, apa sih yang sudah kulakukan untuknya? Aku bahkan sekalipun tidak pernah melakukan liburan bersamanya. Selalu sibuk dengan diriku dan kawan2ku.

Dan jika aku harus mati nanti..

Betapa berdosanya aku sebagai anak.

“Aku tidak apa-apa, Mama. Aku hanya akan menjalani beberapa pengobatan untuk membunuh sel kanker ini. Aku tidak akan mati,” kataku tersendat, berharap suaraku terdengar jelas di ujung sana.

Beri aku waktu, untuk berbakti..

Diam-diam kuucapkan sebaris kalimat itu dan melangitkannya tanpa jeda.

#TaniaLuna
GERHANA (27).

"Luna, tolong buka inboxnya dong. Aku mau bicara. Aku minta maaf." Gerhana meninggalkan komen di status FB-ku. 

Aku merengut. Masih ingat inbox terakhirnya sebelum kublokir. Mau apa lagi dia?

"Ya." Kujawab singkat komennya dan membuka blokir inboxnya. 

"Luna, aku minggu depan ke Jakarta. Kita bisa bertemu?" Inbox dari Gerhana langsung nyelonong masuk setelah aku membuka blokirannya. 

Tak lama kemudian, dia mengirimkan foto tiket pesawatnya. Dengan nama aslinya. Gerhana Brawijaya. Ternyata nama aslinya memang Gerhana, walaupun nama lengkapnya bukan Gerhana Matahari. 

Dia ingin bertemu. Apakah harus kusanggupi? 

"Akan kupertimbangkan jika kau mengirimkan foto dirimu,” balasku beberapa jam kemudian. 

"Aku juga minta fotomu," balas Gerhana di inbox. 

"Gw tidak menjanjikan itu. Tapi jika kau tidak mengirimkan fotomu, gw keberatan untuk bertemu." Balasku, lalu menutup messenger. 

Tak lama kemudian, selembar foto muncul di dalam messengerku. Foto Gerhana Brawijaya. 

#TaniaLuna
PITA KUNING (28).

Bukan masalah berapa banyak yang bisa kita berikan, tetapi yang penting adalah berapa banyak cinta yang bisa kita letakkan dalam setiap pemberian kita (Bunda Teresa).

“Mau menjadi relawan dalam Yayasan Pita Kuning?” Kayang bertanya padaku sambil lalu, ketika sedang meneliti bahan pertanyaan yang akan diajukan saat wawancara nara sumber nanti.

“Apa itu?” tanyaku.

“Yayasan pendampingan untuk anak penderita kanker dari keluarga tidak mampu. Tempatnya di Jakarta Selatan,” Kayang menjelaskan. “Mungkin dengan menolong orang lain, dan mendampingi mereka, kau akan bisa mengalihkan fokus pikiranmu dari dirimu sendiri. Dan kau mungkin akan merasa lebih baik karena bisa berguna untuk membantu meringankan penderitaan orang lain…”

Tanganku menekan icon Chrome dan mulai membuka internet, searching mengenai keberadaan yayasan itu dan apa saja yang mereka lakukan di sana. 

Kupikir itu hal baik yang bisa kulakukan saat ini, ikut mendampingi penderita kanker, sebagai salah satu orang yang baru saja divonis menderita kanker dan bersiap2 menjalani rangkaian perawatan kemoterapi. Aku yakin, aku akan bisa belajar banyak dari mereka, tentang bagaimana menjalani hidup dan berjuang untuk tetap hidup melawan penyakit ini. 

Menjalani hidup dengan cara memberikan cinta, sebanyak mungkin, selama kau masih memiliki waktu untuk itu. Karena hidup bukan dihitung dari seberapa lama kau bernafas di atas bumi ini, melainkan seberapa banyak cinta yang mampu kau tinggalkan di dalam hati manusia lain selama kau masih bernafas.

#TaniaLuna
SURAT KETERANGAN KELAKUAN BAIK (29)

“Luna, jadi bertemu ndak hari Minggu ini?” Inbox dari Gerhana datang lagi. 

“Hari Minggu ini gw ada acara,” balasku.

“Acara apa?”

“Gw mau ke Yayasan Pita Kuning di Cilandak,” jawabku.

“Lhooo.. Kebetulan saya nginap di Hotel H, di daerah Cilandak juga.”

Aku diam. 

“Gimana kalo Luna jemput saya di hotel dan kita pergi sama-sama? Kebetulan saya tidak ada acara seharian itu.”

Lha! Duhhh. Jadi galau kan aku? Karena terus terang, aku juga agak malas kalau harus pergi ke sana sendirian, tidak ada temannya. Itu daerahnya juga kurang kukenal. Kalau ada Gerhana… Mungkin…

“Hei. Apa kamu yakin Gerhana itu orang baik? Bukan orang jahat? Jangan2 kau malah celaka kalau pergi bersamanya!” Akal sehatku memberikan peringatan. 

“Kok diam? Ngak percaya sama aku?” Gerhana inbox lagi. “Perlu aku kirimkan foto KTP-ku dan Surat Keterangan Kelakuan Baik dari Kepolisian?” tanyanya lagi.

Mau ngak mau aku ngakak. “Iya. Perlu.” balasku dengan cepat, karena menemukan alasan untuk menolak permintaannya. 

Satu jam kemudian, foto KTP dan Surat Kelakuan Baik (tertanggal 10 tahun yang lalu –yang aku yakin itu dia urus karena ada kepentingan untuk mengurus surat tertentu) muncul di dalam inboxku.

Ah. 

#TaniaLuna
#GooglePic
MINGGU BERSAMA LUNA (30).

Aku sedang duduk di lobby. Mataku menatap tak sabar ke arah pintu masuk. Kemudian aku melihat seorang perempuan melangkah masuk. Memakai celana jeans panjang dan kemeja putih lengan panjang yang digulung sepertiga. Rambutnya panjang melewati bahu. Menggenggam sebuah clutch berwarna krem di tangan kirinya. Sepatu kets putih melekat di kakinya. Dengan sebuah gelang putih di tangan kanannya dan cincin di jari tengah kirinya, serta sepasang anting2 kecil di ujung kedua telinganya.

Aku yakin itu dia.

Aku melihatnya mengeluarkan ponsel, dan tak lama kemudian ponselku berbunyi. Matanya langsung mengarah ke arah sumber suara dan menemukanku di kursi paling depan bagian lobby.

Aku melambaikan tangan menyapanya. Dia berjalan mendekat. Senyumnya mengembang. 

“Gerhana?” tanyanya.
“Luna.” Kuulurkan tanganku dan menjabat tangannya. Sedikit dingin. Pengaruh AC di mobilkah? Atau.. Dia salting bertemu denganku? Ahay. Ahay. Belum-belum aku sudah keGRan, menatap senyumnya yang melebar. 

“Kita pergi?” tanyanya masih dalam posisi berdiri.

“Mau langsung jalan? Ndak minum dulu?” Aku menunjuk welcome drink yang tersedia di sudut lobby.

Luna menggeleng. “Aku baru selesai makan.” 

“Oh. Oke kalau begitu.”

Aku mengikuti langkahnya, menuju ke arah parkiran. Hari ini, bersama Luna. 

Ahay.

#TaniaLuna
MATA GERHANA (31)

Akhirnya aku menjemput Gerhana di lobby hotelnya. Setiba di sana aku mengeluarkan ponsel dan mencarinya, ketika mataku terjatuh pada sebuah sosok yang tersenyum persis di hadapanku, wajah yang sama dengan foto yang pernah dia kirimkan ke inboxku. 

Aku mematikan ponselku dan berjalan ke arahnya. Kau akan menyukainya saat menatap senyumnya, dan... matanya... adalah mata yang mudah sekali membuatmu jatuh cinta, saat kau tersesat di kedalaman tatapannya. 

"Luna." Dia menyebut namaku dan menjabat tanganku.

Susah payah kuhentikan degub jantungku yang melompat tak karuan. Mengerjapkan mataku untuk mengalihkan rasa sukaku. Dih. Tak kusangka semudah itu kau bisa jatuh cinta pada seseorang yang baru pertama kali kau temui, Luna. Aku menghardik diriku sendiri. 

"Ayo kita jalan. Tar kesiangan," kataku padanya.

"Mau minum dulu?"

"Tidak. Aku barusan makan, dan tidak merasa haus."

Dia mengangguk. Dengan senyumnya yang membuatku terpana sesaat. Matanya mengerjap lucu. Jangan-jangan dia tau soal hatiku yang meloncat-loncat. 

Hufh. Aku menghembuskan nafas kesal. Bikin malu saja kau, Luna. Rutukku dalam hati.

#TaniaLuna
PERJALANAN (32)

Perjalanan ini menjadi perjalanan yang mendebarkan, mungkin karena yang di sampingmu adalah pria yang membuatmu berdebar-debar. Mencari sebuah tempat dengan menggunakan google map, ternyata Gerhana jauh lebih bisa diandalkan daripada aku. 

Karena aku yang memegang setir, maka Gerhanalah yang mencarikan jalan, sesuai dengan petunjuk google map. Beberapa kali saling beradu kata, merasa yakin pada belokan absurd yang ditunjukkan oleh google map, sebelum akhirnya menyerah dan turun untuk bertanya pada orang di sana. 

Singkat kata, akhirnya misi diselesaikan dengan baik. Dan kami menghabiskan siang di sebuah restoran di dekat sana, mengisi perut yang mulai bernyanyi karena lapar. 

"Panggil saja aku Gege," katanya ketika aku memanggilnya Gerhana.

Gerhana pria yang cerdas. Punya banyak topik pembicaraan. Kami bercerita tentang politik sampai tiang listrik. Haha. Dia memang pria yang menyenangkan. Diam-diam aku senang akhirnya bisa bertemu dengannya secara nyata, sebelum aku menjalani rangkaian kemoterapi-ku. 

Ah ya. Tidak akan kuceritakan pada Gerhana tentang penyakitku ini... Tidak akan pernah.

#TaniaLuna

BAIK-BAIKLAH, LUNA (33).

"Mama akan tiba di Jakarta hari Minggu depan, Luna. Kau akan mulai menjalani pengobatanmu hari Senin ini kan? Papa akan tinggal di rumah bersama Ryan," kata Mama di telepon. 

Ah. Akhirnya datang juga hari itu. Hari di mana aku harus mulai menjalani rangkaian pengobatanku. Aku mendesah. Resah. Dan rasa takut diam-diam menyelinap dalam-dalam.

Rasa takut membuat jantungku sakit, membuatku sulit berbicara. Air mataku jatuh. Satu-satu. "Ya, Mama. Nanti aku jemput di bandara," kataku pelan. 

"Kau akan baik-baik saja. Kau akan baik-baik saja... Kau pasti akan baik-baik saja, Luna." Kuucapkan kata-kata itu, berulang-ulang, sambil menatap mataku di dalam cermin itu. Mencoba memberikan keyakinan pada diriku sendiri. "Kau perempuan yang tangguh. Kau tak akan kalah oleh penyakit ini. Tak akan kalah. Luna..." Aku mengulangi lagi kata-kata itu. Lagi dan lagi. 
Serupa membaca mantera. 

Kusentuh benjolan di dada kiriku, dekat daerah ketiak. "Kau akan baik-baik saja, Luna. Kau akan kuat untuk memulai peperangan ini dan memenangkannya..." Lagi-lagi kuucapkan kata-kata itu, dengan suara keras, agar telingaku bisa mendengarnya langsung dari mulutku. Sedapat mungkin, berusaha agar telinga itu tak mendengar juga isak tangis yang kutahan di ujung hidung.. 

#TaniaLuna
DOKTER ALEX (34).

Dokter Onkologiku sedang mengikuti pelatihan di luar negri selama beberapa bulan. Dan dia telah merujukku ke dokter yang lain, rekan sejawatnya. Dokter Alex. Orangnya ramah. Dengan senyum yang membuatku tidak nyaman. Ya, kalian kan tau kalau aku sungguh risih jika harus berhadapan dengan dokter cowok untuk hal yang pribadi seperti ini. 
Tapi ini adalah masalah hidup dan mati. Tak ada waktu untuk merasa malu. Apalagi ketika aku tahu bahwa dokter ini adalah salah satu dokter terbaik di RS itu. 

Umurnya sekitar 45 tahun. Sedikit rambutnya mulai memutih. Dan di atas mejanya, kulihat fotonya bersama dua orang anak perempuan. Pasti itu anaknya. 

"Saya berikan dulu obat anti mual ya, Mbak Luna. Setelah diminum, besok Luna datang kembali ke sini, dan akan saya berikan obat “taxotere” melalui infus besok pagi. Prosesnya sekitar 1 jam, dan saya juga akan memberikan obat2 yang harus diminum. Jika ada gejala alergi atau apa, segera hubungi saya ya, Luna." 

Aku diam. "Apakah kami harus menginap di RS, dokter?" Mamaku bertanya. 

"Oh. Tidak perlu. Setelah selesai infus, Ibu dan anak Ibu bisa langsung pulang. Bulan depan, kembali lagi untuk proses kemo ke-2. Hanya saja, perlu diperhatikan efek samping dari kemoterapi ini, misalnya mual, muntah, kerontokan rambut, dan rasa lelah." 

Aku masih diam. Sampai Mama selesai mengambil obat di Apotik di RS itu, aku hanya diam. 

#TaniaLuna
MAAFKAN MAMA, LUNA (35)

Saat terbaring dalam keadaan menyedihkan setelah kemo ke-3, tiba-tiba pintu apartemenku diketuk. Mama meletakkan cucian piringnya yang masih belum selesai, dan berjalan menuju ke pintu.

"Nathan...!" Suara Mama sedikit keras, terdengar agak terkejut. Aku tercekat. Nathan??? Mau apa dia kemari??!!

Aku mendengar suara langkah mendekati kamarku, dan ketika pintu kamar terbuka, wajah Nathan dan Mama muncul di hadapanku. 

"PERGI!!!! Mau apa kau ke sini??!!" Aku berteriak dengan marah. Melemparkan semua bantal yang bisa kuraih. Langkah Nathan menyurut, mundur. Wajahnya agak pucat. Wajah Mama juga terlihat serba salah. 

"Mungkin lebih baik saya pulang dulu, Tante. Nanti kalau suasana hati Luna sudah membaik, saya baru datang lagi,” Nathan langsung berpamitan. 

Aku melangkah limbung dan menutup pintu kamar dengan keras. “SIALAN!!” Aku berteriak kesal, antara marah dan putus asa. Darimana Nathan tau aku tinggal di sini?? 

"Mama yang memberitahukan pada Nathan, Luna..." kata Mama pelan, setelah mengantar Nathan pulang, dia kembali ke kamarku. 

"Kenapa???!!! Untuk apa??!! Kenapa sih Mama harus kepo?? Kenapa sih harus selalu mencampuri urusanku?? Kenapa sih harus kasi tahu Nathan??!!! Mama suka kah Nathan melihatku dalam keadaan seperti ini??!!!!" Aku kembali berteriak, air mataku jatuh tak terbendung.

"Maafkan Mama, Luna... Maafkan Mama, jika menurut Luna, Mama telah salah memberitahukan alamat ini pada Nathan..." Mama mengusap air matanya, mencoba memelukku.

Aku menepiskan tangannya dengan kasar. Berjalan ke kamar mandi, dan menutup pintu. 

#TaniaLuna

USAH KAU SIMPAN LARA SENDIRI (36)

Berbulan-bulan menjalani kemo dan operasi pengangkatan jaringan yang terkena kanker, membuat emosiku tidak stabil. Berat badan turun drastis, mual dan muntah setiap malam, rambutku pun rontok banyak, sampai aku mengenakan wig jika mau keluar rumah. 

Selama waktu itu, sosmed banyak membantu proses stabilisasi emosiku. Ada banyak tawa yang dibagi dalam kata-kata tanpa suara, yang sedikit mengobati sakit dan mengurangi stressku. 

Di sana juga aku bisa melampiaskan kemarahanku, kekesalanku, dan semua uneg2ku. Menuliskan semua keresahanku, ketakutanku, harapan2ku dan semua pemikiran2ku. 

Aku juga berbagi cerita dengan Gerhana, tentang apa saja, selain tentang sakitku di sana. Menelponku setiap malam menjadi kebiasaannya sejak pertemuan kami di Jakarta waktu itu. Dan ada saja yang dia bicarakan di sana denganku. 

Pernah suatu hari dia bertanya padaku, lagu apa yang paling ku suka. Dan aku mengatakan padanya, aku menyukai lagu "Usah Kau Lara Sendiri"-nya Katon. Besoknya, ketika dia menelponku, lagu itu terdengar di telingaku setelah aku mengucapkan "Hallo". Dia menyanyikannya untukku, dengan iringan suara gitarnya. Mendengar lagu itu dinyanyikan olehnya, air mataku jatuh, satu-satu...

"Jika dia melihatku saat ini, dia pasti tak akan mengenaliku lagi," kataku pada diriku sendiri, menatap ke dalam cerminku.

#TaniaLuna
~Pinjam picnya 
Oryza Sativa

MASA LALU GERHANA (37).

"Aku pernah menikah." Suatu hari Gerhana tiba-tiba mengatakan hal itu padaku, tanpa kutanya. 

"Oh." Aku menjawab singkat. Diam. Tak tahu harus bagaimana menanggapi kalimatnya yang dibiarkan menggantung sejenak itu.

"Sebulan setelah pernikahan kami, aku memergokinya bersama mantan pacarnya sedang berjalan keluar dari sebuah hotel." 

"Oh."

"Haha, dari tadi cuma "OH. OH." melulu. Ndak ada komen lain kah?" tanya Gerhana sambil tertawa. 

"Ndak tau gw harus komen apa.. Siapa tau.. Mereka hanya bertemu di lobby, seperti kita waktu itu?" Akhirnya kukatakan juga pikiranku padanya. 

"Tidak Luna. Malamnya aku menanyakan pada Vania, mengapa dia menemui mantannya tanpa mengatakan apa-apa padaku, dan apa yang dia lakukan di sana... Lalu... Dia mengakui bahwa... Dia memang dan masih mencintai mantannya. Dia menikah denganku waktu itu... karena.... beberapa alasan yang bisa kumaafkan." Gerhana terdiam. Dia tidak menceritakan alasannya padaku. Dan aku pun tak ingin bertanya lebih jauh. 

"Lalu bagaimana?"

"Lalu aku menemui mantan pacarnya itu. Kami berbicara bertiga. Dan akhirnya kami bersepakat dalam satu hal. Aku tahu dia sangat mencintai Vania. Maka... Kuserahkan Vania padanya. Kami berpisah... Bahkan sebelum surat nikah sempat dibuat."

Gerhana mengakhiri ceritanya. Aku masih diam. Tak tau harus berkata apa. 

#TaniaLuna
YUDHISTIRA (38).

Mama sudah pulang kembali ke kota M. Pengobatanku cukup sukses, pengangkatan jaringan yang terkena kanker terlihat baik2 saja, dan aku disarankan untuk kontrol rutin setiap 3 bulan, 6 bulan, 1 tahun. 

Tujuh bulan yang seperti mimpi buruk, yang mungkin tak akan pernah berakhir. Tapi 8 kemoterapi telah dilalui dengan baik. Dan sekarang adalah saatnya recovery.

Aku mulai rutin menjalankan tugasku di yayasan, menemani anak-anak penderita kanker yang membutuhkanku. Untuk biaya pengobatan, mereka mendapatkannya dari BPJS yang biayanya dibayarkan oleh para dermawan setiap bulannya. 

Dalam komunitas itu, aku bertemu dengan banyak orang2 yang berhati malaikat. Yang benar2 menyisihkan waktu dan tenaganya, untuk berbuat kebaikan bagi orang lain. 

“Apa alasanmu menjadi relawan di sini?” Suatu hari aku bertanya pada Yudhistira, pria Jawa pemilik franchise beberapa kedai kopi di Jakarta, yang juga menjadi relawan di sana. 

“Agar aku bisa bertemu denganmu,” katanya sambil mengedipkan matanya dengan nakal, lalu tertawa melihat wajahku yang memerah.

“Bagaimana dengan kemo-mu? Sudah selesai?” Dia mengalihkan pembicaraan. Dan aku hanya mengangguk menjawab pertanyaannya. Dia tersenyum. Mengulurkan tangannya dan merapikan poni wig yang sedang kupakai. 

“Alasanku mungkin sama dengan alasanmu, Luna. We want to make a better world.” 

#TaniaLuna
TERJATUH (39)

Karena sering bertemu dengan Yudhis, kami menjadi dekat. Malam minggu dia sering datang mengajakku sekedar ngopi di cafe-nya. “Cukup satu cangkir, jangan lebih. Nanti saya bangkrut,” katanya menggodaku, sambil tertawa. Aku pun ikut tertawa. Aku tau bukan itu alasan sebenarnya. Tetapi memang seharusnya aku tidak mengkonsumsi kopi di saat recovery ini.

Softdrink, es dan cabe sudah kuhindari total. Tapi untuk kopi, walau sebenarnya tidak ada larangan untuk itu, banyak yang menganjurkanku untuk menghindarinya juga.

“Oke. Satu cangkir saja. Jangan kuatir, aku tak akan membuatmu bangkrut,” kataku sambil merengut. 

Kemudian aku menuju ke etalase dan memilih sepotong kue, serta menghabiskan beberapa menit untuk beradu argumentasi karena aku berkeras untuk membayarnya. Aku menang. Tentu saja. 

Duduk di meja yang kupilih, Yudhis menatapku dengan pandangan galak.

“Luna. Jika lain kali kuajak kau makan di sini, atau di mana pun, aku tak ingin kau menghabiskan waktuku untuk debat murahan tentang siapa yang harus membayar makananmu ya!”

“Aku tak mau membuatmu jadi bangkrut,” jawabku masih ngeyel.

“Luna. Aku serius. Jangan bikin drama yang tidak perlu seperti itu.”

Aku diam. Menatapnya. “Ya, baiklah.” 

Dia tersenyum. “Nah, begitu lebih baik.”

Aku menatap Yudhis. Kukira... Aku jatuh cinta padanya...

#TaniaLuna
IYA-KAN SAJA (40)

"Itu pacarmu?" tanya Kayang ketika melihat Yudhis menungguku di parkiran, saat kami berjalan pulang. 

"Bukan," jawabku cepat.

"Bukan?" Kayang menaikkan alisnya dengan pandangan menggoda. 

"Belum," Aku meralat ucapanku tadi. 

Kayang tertawa. "Aku pikir kau bukan orang yang suka dengan hubungan tanpa status jelas seperti itu." Dia mengedipkan sebelah matanya, sebelum masuk ke mobilnya, meninggalkan aku terdiam mencerna kata-katanya. 

Aku berjalan mendekati mobil Yudhis, dan duduk di kursi penumpang.

"Siapa itu?" tanya Yudhis. 

"Kayang," jawabku. 

"Oh. Itu yang namanya Kayang. Tadi ngomong apa dia? Kok kayaknya kamu jadi mikir gitu..?"

"Hmmm.. Dia tanya apakah kamu itu pacarku atau bukan." Aku memberikan penjelasan.

"Lalu jawabmu?" Yudhis memindahkan gigi dari D ke P, lalu menatapku. Tak jadi menjalankan mobilnya. 

"Ya kubilang bukan laaaa," Aku membuang muka. 

"Lhaaa. Kenapa ndak di-iya-kan saja?" Yudhis tersenyum.

"Hah?" Aku melongo, mencari matanya. Ini orang lagi serius apa bercanda?

"Kamu ndak mau jadi pacarku?" tanya Yudhis lagi. Aku terdiam. Aduh! Pernyataan cinta macam apa ini? Bagaimana aku harus menjawab pertanyaan yang sama sekali tidak romantis ini? Di mana ungkapan: "Luna, aku mencintaimu" ?? 

Duh! Aku galau. Sialan si Yudhis. Minta aku jadi pacar kok manfaatkan Kayang..?

#TaniaLuna

TALI GANTUNGAN (41).

“Memangnya kau ndak mau jadi pacarku?” tanya Yudhis.

“Lho. Ngapain jadi pacarmu? Emangnya lo cinta sama gw?” Aku balik bertanya.

Yudhis tertawa. Tak menjawab. Lalu memindahkan gigi ke D, dan mobil melaju pergi. 

Sekarang aku yang bengong. Lhaaa.. Statusku sekarang apa?? 
Apakah Yudhis sudah menyatakan cinta, dan jawabanku baginya adalah sebuah penolakan? Astaga.. Padahal.. Aku hanya butuh penegasan. Hanya itu!
Atau.. Yudhis hanya bercanda, dan jawabanku telah menyelamatkan aku dari rasa malu yang tak tertanggungkan?
Tapi bagaimana kalau Yudhis serius, dan tidak bercanda? Seharusnya aku langsung terima saja. Ndak perlu ragu mengiyakan. Pertanyaanku malah akhirnya membiarkan hubungan ini menjadi kembali menggantung.. 

Mamaku pernah bilang, jadi cewek harus tau diri. Tapi juga jangan punya harga diri terlalu tinggi. Akhirnya malah gigit jari. Tuh akhirnya lamaran dari pria yang membuatku jatuh hati, malah jadi kayak kutolak kan??

Rasanya mau nyungsep aja di bantal dan menangisi kebodohanku. Karena aku berpikir, Yudhis ndak akan menanyakan pertanyaan itu lagi untuk yang kedua kalinya.

Duh. 
https://static.xx.fbcdn.net/images/emoji.php/v9/f7b/1.5/16/1f61e.png😞https://static.xx.fbcdn.net/images/emoji.php/v9/f7b/1.5/16/1f61e.png😞https://static.xx.fbcdn.net/images/emoji.php/v9/f7b/1.5/16/1f61e.png😞

#TaniaLuna

YES OR NO? (42)

Malam minggu, seperti biasa Yudhis datang mengajakku jalan. Sekedar menghabiskan waktu di malam panjang. Dengannya aku merasa nyaman, jadi biarlah mengalir apa adanya.

Memasuki kafenya malam ini, suasana terasa aneh. Musik terdengar syahdu, tetapi satu kafe itu tidak ada satu pun pengunjung.

“Tumben sepi sekali kafemu malam ini, Dhis,” komenku, sambil berjalan memesan secangkir kopi dan sepotong kue. Memilih meja di pojokan, tempat kesukaanku yang jarang bisa kudapat karena selalu terisi pengunjung lain.

Yudhis juga memesan secangkir kopi. Tanpa kue. “Aku ngak suka yang manis-manis,” katanya, “soalnya kamu sudah cukup untuk membuatku diabetes,” lanjutnya.

“Halah!” Aku tertawa. Lalu mulai sibuk membuka HP-ku, memeriksa pesan2 WA dan Line yang masuk. 

“Hm.” Yudhis berdehem. “Luna...”

Aku menghentikan kesibukanku di layar HP. “Ya?”

Sang barista mengantarkan secangkir kopi pesananku. Kopinya.. 
#Eh, ada tulisan “I love you” di atasnya.

“Aku mencintaimu. Maukah kamu... mmm.. jadi pacarku?” tanyanya sambil memberikanku sebuket bunga mawar putih, yang dia ambil dari balik meja baristanya.

Oh. Pantas saja kafenya sepi sekali malam ini. Ternyata ini sudah direncanakan. 

Teringat komen seorang teman di episode sebelumnya tentang karma yang berbelok, aku langsung menjawab: “Iya. iya. Tentu saja, Yudhis. I love you, too.” Andai saja kau tau betapa aku menyesali jawabanku kemarin di dalam mobilmu... (lanjutku dalam hati).

Para barista memberikan tepuk tangan meriah, bahkan ada yang sampai bersiul-siul menggoda kami, dan aku menyembunyikan wajahku yang panas memerah. 

#TaniaLuna

YUDHIS (43)

Luna terlihat cantik sekali pagi ini, matanya yang indah menatapku sembari meneguk kopi pagi di cangkir sewarna kemejanya. Jujur aku cemburu pada cangkir itu, matanya seolah memanggilku lembut. Kuraih cangkir yang mengganggu itu sambil berkata, "Tugasmu sudah selesai, aku tak mau kau terlalu lama bertengger di bibir cantik Luna." 

Ada sisa kopi yang menetes anggun di sudut atas bibirnya. Yang tanpa sadar ia seka dengan ujung lidahnya. Dan entah sejak kapan, aku telah mendekatkan wajahku kepadanya. Ada harum kopi yang menguar memanggilku dari nafasnya.
Ada permohonan dalam bibir yang merekah merah itu. Memohon untuk dirasakan.

Kuletakkan kedua tanganku dengan lembut di wajahnya, kumiringkan 22,3° ke arah kanan, lalu kucium bibirnya perlahan, kurasakan dia membuka sedikit bibirnya. Lalu dengan sigap kumasukkan lidahku dengan perlahan dan kugerakkan dengan liar hingga menyentuh langit2 mulut. Lunapun tanpa sadar akan melakukan hal serupa, lalu kuhisap dengan lembut daging lembut semanis manna. Entah berapa lama waktu seakan berhenti, kini terdengar suara lenguhan dari bibir manis Luna. 

Sejenak kuhentikan. Hanya ingin memastikan apakah ini mimpi? Karena terlalu indah untuk jadi kenyataan. Kutatap matanya dengan pandangan sayu dan kukatakan, "Aku menginginkan kamu."

Bibirnya terasa manis, manis yang memabukkan serupa dosa. Ah persetan, aku ingin terus mereguk rasa hangat manis bibirnya saat ini. 

Lagi..dan lagi..

Kelelakianku membumbung saat lidahku coba merasai lidahnya. Memagutnya dalam sejuta permohonan akan cinta. Aku tidak pernah berpikir bahwa bertukar cairan tubuh bisa begini memabukkan..

Suara azan tiba-tiba membangunkanku. Dan aku melenguh pelan. Aduh. Mimpi sialan... sampai basah...

Luna. Luna. Mengapa bayanganmu tak mau pergi dari pikiranku? Sampai mimpi pun juga tentang kamu.

~Ditulis oleh 
Alexander Wignjosiswojo, diedit olehTania Luna.

KISS ME (44).

Lari pagi di hari Minggu menjadi jadwal tetap kami, aku dan Yudhis. Sepanjang jalan, kami selalu menjadi pusat perhatian orang2. Mungkin menurut mereka, kami ini pasangan yang unik.

Yang satunya putih bermata agak sipit, satunya hitam legam dan tinggi. Dengan tinggi 178, Yudhis terlihat menjulang dibandingkan aku yang terbilang cebol.

Setelah menghabiskan sarapan bubur ayam di daerah monas, Yudhis mengantarku pulang. Rencananya setelah ini dia akan mengajakku menemui keluarganya. 

“Duduk aja, Dhis. Bentar, kubuatkan teh tawar untukmu,” kataku sambil menuju ke dapur. Yudhis dengan santai duduk di sofa apartemenku, dan mengambil majalah di bawah meja. 

Secangkir teh tawar hangat kuletakkan di depannya, ketika Yudhis menarik tanganku dan membuat tubuhku terjatuh dalam peluknya.

“Hmmm.. Aku suka bau keringatmu..” Yudhis menyusupkan wajahnya ke leherku. Bibirnya bergerak pelan dan kurasakan lidahnya menyapu kulit leherku. “Asin.” Bisiknya sambil tertawa pelan. 

Aku menggelinjang. Tanpa sadar menutup mataku, menikmati setiap sentuhan lidahnya. Lidah itu bergerak menyusuri leherku, kemudian mencari bibirku.

“Yudhis.. Aku..” tergagap aku mencoba bicara, ketika bibirnya menutupi bibirku dan melumatnya, menelan kalimatku penuh-penuh. Tidak ada kata yang bisa kuucapkan, dan aku menikmati setiap sensasi ciumannya. Lidahnya bergerak membuka mulutku dan mencari lidahku. 

“Aku mencintaimu,” bisiknya sambil terus melumat bibirku. 

“Ah. Aku pun mencintaimu, Yudhis. Aku pun sangat mencintaimu..” jawabku dan membalas ciumannya dengan sama lembutnya. 

#TaniaLuna

BEKAS LUKA (45).

Yudhis masih terus menciumku. Aku mendesah. Ciuman pertama kami, penuh gairah. Serasa melayang, terbang di udara. Aku terseret oleh arus deras, dan tanpa sadar menahan nafas. 

Tangannya bergerak meraba lekuk tubuhku, kemudian menyusup melalui bagian bawah kaosku yang basah oleh keringat. Pelan sekali, tangan itu merayap ke buah dadaku, dan menyentuhnya dengan lembut. Meremasnya pelan. 

Aku tersentak. Tanganku reflek menolak tubuhnya. Dan menjauh.

“Ah.. Maaf..” Yudhis berkata pelan ketika melihat ekspresi wajahku.

Aku mengatupkan bibirku, tak tau harus berkata apa. Aku berdiri, berjalan pergi, menuju kamarku. Menutup pintu kamarku. Meninggalkannya sendiri di sofa.

Ah.

Berdiri di depan cerminku, aku melepaskan bajuku. Melepaskan kaitan bra-ku. Lalu menatap tubuhku.. Kupejamkan mataku saat tatapanku tertuju pada payudara kiriku, dengan sayatan bekas operasi yang memanjang dan bentuk yang tak seperti payudara sebelahnya. 

“Kamu ini adalah perempuan cacat...” Kuucapkan kalimat itu pada sosok di depan cerminku. 

“Dan aku tak ingin Yudhis melihat tubuh yang cacat ini...” Perlahan kuusap air mataku, lalu menuju ke kamar mandi. Aku tak ingin Yudhis melihatku menangis. 

Aku tak lagi sama. Aku bukan lagi Luna yang dulu...

#TaniaLuna

CINTA ? (46)

Tetaplah semangat, tetaplah pede. Cinta tidak seasu itu, pudar hanya karena kau tak memiliki payudara, kata mereka. 

Tapi, mengapa kau sibuk berdandan ketika ingin pergi berkencan? Lalu sibuk memilih pakaian terbaik yang kau miliki?

Pernahkah ketika kau bercinta, kau memilih untuk memadamkan lampu, agar gelambir-gelambir di tubuhmu tak tampak jelas? 

Pernahkah ketika berciuman, kau memejamkan matamu, agar kau tak perlu menatap wajahnya yang sudah tak lagi memancarkan cinta untukmu?

Pernahkah kau bercinta, hanya karena kau merasa harus "melayani", agar priamu "cukup makan", dan tidak mencari "makanan" di luar sana?

Cinta tidak seasu itu, katamu. Tapi tubuh bereaksi terhadap tatapan, dan aku tak ingin dicintai karena rasa kasihan. 

Aku bahkan tak sanggup menatap matanya, yang menatap ke arah tubuhku yang cacat.

#TaniaLuna
HILANG (47)

Karena aku mencintainya...
Aku ingin dia melihatku dengan tatapan matanya yang penuh puja.
Aku ingin mendengar bibirnya memuji.
Aku ingin tampil sempurna di hadapannya. 

Karena cinta.. 
Aku tak ingin dia mendapatkan cacatku.. 
Tak ingin dia kecewa karena apa yang tidak kumiliki.

Aku pun ingin memiliki perasaan bangga, bahwa tubuhku cukup sempurna, untuk melambungkanmu ke surga.

Karena cinta. 

Ah. Benarkah karena cinta?? Atau luka ini.. Telah membuatku kehilangan "aku"?

Kalau benar cinta, dia tak akan pergi. Semua orang berkata begitu. Tapi cinta baru saja tumbuh. Dan cinta yang masih rapuh, akan mudah patah terhempas angin.
Karena cinta pun selayaknya pohon, tumbuh kuat dan mengakar, seiring waktu dan tempaan keadaan. Tak ada cinta yang langsung kuat, hanya dalam sekejap tatap. Dan aku tak ingin dia pergi karena kecewa. 

#TaniaLuna
KHILAF (48)

Sepasang bibir beradu, saling mengulum lembut. Ada desah yang tertahan di antara nafas yang memburu. Ada rindu yang sudah saatnya dituntaskan. Menyusuri lekuk, mengeja tubuh masing-masing.

Semua berjalan dengan baik, seolah jemari yang telah begitu mengerti tentang hasrat dan inginnya. Bergerak sesuai insting, menuju tempat-tempat yang mendamba sentuhan.

Sampai tiba-tiba Luna mendorong tubuhku, dan aku seolah dibangunkan dari mimpi. Apakah aku telah melangkah terlalu jauh?

"Damn! Damn! Damn! Dungu kau Yudhis. Dungu!" Aku memaki diriku sendiri. 

Aku tidak kuasa menyesali kebodohanku. Aku sadar, tanpa sengaja telah menyakiti hati Luna. Padahal aku telah tahu, Luna tidak hanya aktifis peduli penderita kanker, Luna juga bagian dari mereka. Luna, perempuan yang begitu tegar, tidak menjual getir untuk sebuah hubungan. Kenyataan ini bahkan menambah kekagumanku pada Luna. 

Maka sepanjang persahabatan kami, sampai kami menjadi sepasang kekasih, tak pernah kujadikan penyakitnya sebagai topik pembicaraan di antara kami. Luna tau bahwa aku tau. Itu sudah cukup bukan? Seharusnya dia juga tau bahwa aku bisa menerima keadaannya saat ini. 

"Kau ingat kisah Fidelis yang menanam ganja untuk mengobati sakit kanker istrinya? Atas nama cinta ia rela dipenjara. Fidelis menjadi bukti, cinta tanpa syarat itu ada. Take your time. Panggil aku saat kau sudah berdamai dengan dirimu." 

~Ditulis oleh Jey Andaru, diedit oleh 
#TaniaLuna.
AKU MENUNGGU (49).

Akhirnya aku selesai mandi. Setelah mandi, suasana hatiku menjadi agak tenang. Setelah memoleskan sedikit lipstik di bibirku, aku membuka pintu kamar, dan melihat Yudhis masih duduk di sana. 

“Luna, maafkan aku...” Yudhis langsung bicara begitu melihatku.

Aku memaksakan senyumku untuknya, “Bukan salahmu, Dhis. Aku hanya... Aku hanya... Ah..” Aku kehilangan kata-kata.

Yudhis berjalan mendekat dan menarikku ke dalam pelukannya, “Aku mengerti. Tidak masalah. Aku tahu kau butuh waktu untuk percaya padaku. Tapi...” Yudhis berhenti bicara.

Aku mendongak, menatap matanya. Tubuhku masih di pelukannya. “Tapi apa?” tanyaku. Yudhis menundukkan wajahnya, dan meraih bibirku dengan bibirnya. Menciumku lagi. Masih selembut tadi. Tapi bukan ciuman bernafsu seperti tadi. Ciuman kali ini berbeda.

“Tapi, Luna. Jika kau sendiri belum mampu mencintai dirimu apa adanya, jika kau belum mampu mencintai tubuhmu yang sekarang, kau tak akan mungkin percaya bahwa aku bisa melakukannya untukmu.” 

Yudhis mempererat pelukannya. Aku terdiam. Apakah... Yudhis menginginkan perpisahan?

“Jadi Luna... Aku berjanji, tak akan bercinta denganmu, sebelum kau bisa mencintai tubuhmu sendiri. Aku akan menunggu, Luna. Aku bersedia menunggu, sampai saatnya kau berdamai dengan dirimu dan memutuskan untuk percaya padaku.” 

Air mataku jatuh. Dan Yudhis kembali menciumku. Kali ini, aku membalas ciumannya. Saling memagut, saling mencari, saling melumat. Cinta, kesedihan, luka, kehilangan rasa kepercayaan diri, kekuatan hati... melebur dalam ciuman kami yang begitu lama dan dalam.

Ciuman kali ini terasa jauh lebih intim, dan membuatku meleleh dalam dekapannya.

#TaniaLuna
MAMA YUDHISTIRA (50).

“Yuk,” Akhirnya Yudhis melepaskan ciumannya, dan meraih tanganku. Ah ya. Kami akan ke rumah Yudhis hari ini. Bertemu dengan Mamanya (karena Papanya masih di luar negri) dan kalau beruntung mungkin adiknya juga ada di rumah. “Kalau dia ndak kelayapan lagi sama pacarnya,” kata Yudhis. Yudhis punya 2 adik, satu perempuan bernama Yhuna, dan satu lagi cowok masih kuliah di Sidney, bernama Yudha. Papanya seorang perwira tinggi di TNI. Itu cerita singkat Yudhis padaku dalam perjalanan ke rumahnya.

“Aku belum cerita apa-apa tentang kamu ke Mama. Nanti biar kalian saja yang saling kenalan lebih jauh ya. Kau pasti akan suka sama Mamaku. Dan Mamaku juga pasti akan suka padamu. Hahaha. Entah sudah berapa ribu kali dia suruh saya cari calon istri.”

Wajahku memerah mendengar kata-kata Yudhis yang mulai menjurus ke pernikahan. Apakah ini tujuannya mempertemukan aku dengan ibunya?

Mobil melaju memasuki sebuah jalan perumahan mewah, lalu berhenti di depan pintu gerbang model versace. Yudhis menekan tombol di gantungan kunci mobilnya, dan pagar terbuka secara otomatis. Mobil kembali dijalankan dan berhenti di halaman depan rumah. 

Yudhis mematikan mesin dan tersenyum padaku, “Yuk.” 

Aku menarik nafas, meredakan gemuruh yang bertalu-talu, sebelum membuka pintu mobil dan melangkah keluar. 

Seorang perempuan setengah baya membukakan pintu sebelum Yudhis memasukkan kunci rumahnya. Rupanya kami sudah ditunggu. 

“Luna, ini Mamaku.” Yudhis memperkenalkan kami. “Dan itu...” Yudhis tertawa, “Dhellll, sini. Ngak usah malu-malu.” Seorang perempuan muda tersenyum nakal menggoda dan berjalan mendekat, “Ini Yhuna, si Udel yang nakal.” 

Kuulurkan tanganku, menjabat tangan Mama Yudhis. Tatapan matanya, membuatku membeku. 

#TaniaLuna
AGAMAMU APA? (51)

“Oh, ini yang namanya Luna.” Mama Yudhis membuka pembicaraan setelah si Mbok meletakkan minuman di hadapan kami berempat. Saat itu rasanya seperti disidang waktu ujian tesis, walaupun Yudhis setia menggenggam jemari tanganku di sampingnya.

“Iya, Tante,” Aku tersenyum, sambil berdoa bahwa senyumku akan cukup manis.

“Hmmm.. Ketemu Yudhis di mana?” tanyanya. 

Yudhis mengambil alih pembicaraan, menceritakan pertemuan kami di yayasan kanker anak itu. 

“Oh. Aktif di Yayasan Kanker Anak juga seperti Yudhis?” tanya Mamanya. 

“Iya, Ma. Luna juga salah satu survivor kanker..” Lagi2 Yudhis yang menjawab pertanyaan Mamanya.

“Yudhis, bisa ngak sih kamu biarkan Luna yang menjawab pertanyaan Mama?” Akhirnya Mama Yudhis kesal juga kayaknya, karena Yudhis selalu menyambar semua pertanyaannya. Yudhis tertawa. “Oke. Oke, Ma. Sorryyyyy.”

Aku tersenyum. Salah tingkah. Duh. Kapan ini akan berakhir?

“Maaf lhooo, tante mau tanya.... Hmmm.. Luna ini... Chinese?” 

Cangkir yang menuju ke bibirku terhenti. Kuletakkan kembali ke meja, “Iya, Tante. Saya Chinese.” 

“Hmmm.. Tante mau tanya... Ini agak pribadi sebenarnya... Tapi... Luna bukan muslim kan?” Mamanya mengajukan pertanyaan retoris. Beliau sudah tahu jawabannya, tetapi meminta penegasan dariku.

“Bukan, Tante...” Aku menjawab lirih. Aku sudah tau pertanyaan ini akan mengarah ke mana.

“Jika ingin melanjutkan hubungan dengan Yudhis... Apakah Luna punya niat untuk berpindah agama? Karena Yudhis adalah muslim. Dan...” 

Aku membeku. Nanar menatap Yudhis. Pertanyaan yang tak pernah kupikirkan jawabannya sebelum ini. Dan jawabanku... Akan menentukan kelanjutan hubungan kami.

#TaniaLuna
MAMAKU (52)

Aku memutuskan mengajak Luna bertemu Mama hari ini. Keputusan yang bukan tanpa risiko. Aku tahu Mama bagaimana. Sosok perempuan ortodoks yang kadang akan sangat bawel untuk hal-hal yang prinsip menurutnya. Prinsip yang terkadang tidak bisa aku pahami. Itulah mengapa aku memilih menjalani pilihan hidupku sendiri. Membuka cafe dan aktif di NGO ketimbang mesti ke Sulawesi menjadi CEO di perusahaan tambang nikel milik relasi Papa. 

Hari ini Luna cantik sekali. Semoga Mama berpendapat sama. Bagi aku, mempertemukan Luna dengan orang tua adalah satu-satunya pilihan agar Luna tahu seriusnya aku dalam hubungan ini. Aku berharap Luna tidak meragukan aku lagi.

Setelah pertanyaan basa basi seputar pertemuan kami, aku tersentak waktu tiba-tiba Mama bertanya pada Luna, “Apa agamamu?" 

Sejak detik pertama Luna berkenalan dengan Mama, aku melihat Mama berubah menjadi Penyidik yang sedang menginterogasi calon tersangka. Pertanyaan terakhir Mama kepada Luna membuatku gamang. Sepertinya aku terlalu cepat memperkenalkan Luna kepada Mama.

Bagiku perbedaan agama tidak menjadi soal. Untuk hidup denganku, Luna tidak perlu menjadi muslim. Namun untuk menjadi menantu Mama, seagama menjadi syarat mutlak. 

"Ma, kami tidak bisa lama-lama. Aku dan Luna ada rapat penting di Yayasan," pamitku kepada Mama memotong pembicaraan. 

Mama menatapku tajam. Sepertinya dia tahu aku tidak senang dengan pertanyaannya pada Luna dan memutuskan untuk pergi secepat mungkin dengan alasan apapun. 

“Hati-hati di jalan Nak. Kelar urusanmu, datang ke rumah di jam makan malam. Mama mau bicara," jawab Mama datar. 

Luna mencoba tersenyum sambil mencium pipi Mama waktu berpamitan. Aku menggenggam tangan Luna. Dingin.
"Aku tahu, Luna. Aku tahu. Kita akan lalui ini," bisikku membathin.

~Ditulis oleh Jey Andaru, diedit oleh 
#TaniaLuna

KALAH ATAU MENGALAH (53)

Saat kau mencintai seseorang yang berbeda agama denganmu, dan kau tidak berniat untuk merubah agamamu melainkan mengharapkan dia yang merubahnya demi kamu, kusarankan untuk berhenti mencintai. 
Bukan dia yang tidak mencintaimu, tetapi kamu yang tidak cukup mencintainya. 

Jangan menjalani hubungan apapun jika kau berharap kelak dia akan berubah untukmu, demimu, sedang kamu tidak ingin dan tidak akan pernah melakukan itu untuknya. 

Ego win.

#LunaAir 

Kutuliskan kalimat itu di dalam status FB Luna Air-ku, sebelum tidur, sambil berpikir, “Cukupkah cintaku pada Yudhis untuk merubah keyakinanku demi dia?”

Lalu HP-ku berbunyi. Gerhana. 

“Luna. Status FB-mu malam ini sangat menarik,” Dia membuka pembicaraan. Aku tersenyum, lalu segera sadar dia tak bisa melihat senyumku. 

“Ah, iya. Pacarku, Jawa Muslim. Dan aku terjebak dalam keadaan ini...” Aku bercerita dengan ringan.

“Heh? Pacar? Kau... Sudah punya pacar?” tanya Gege.

“Iya. Baru jadian beberapa minggu lalu...” 

“Oh.”

Lama Gege terdiam. Aku heran. Biasanya dia ndak pernah kehabisan bahan pembicaraan denganku.

“Hallo?” Aku memanggilnya.

“Eh iya. Hmm.. Sorry, aku ndak tau kau sudah punya pacar...” Akhirnya Gege berkata setelah terdiam agak lama.

“Haha. Kau kan ndak pernah bertanya juga.” Aku tertawa. Pembicaraan kami ditutup tak lama kemudian.

Kubuka lagi FB-ku. Ada komen Gerhana di sana. 

“Bisakah kau mengukur cinta dari kesediaan seseorang mengganti agamanya? Jika dia bisa mengkhianati Tuhannya, tidakkah dia juga bisa mengkhianatimu?” 

Aku terdiam mencerna kalimatnya.

#TaniaLuna
SETIA (54).

Seseorang berkata,
Jika Tuhan saja bisa dikhianati, apalagi kamu.

Tapi Tuhan yang mana yang bisa dikhianati? 

Dan mereka yang setia pada Tuhannya, apakah tidak akan mengkhianatimu??
Berapa banyak yang justru berlindung di dalam nama Tuhannya, untuk mengkhianati kamu??

Apakah kesetiaan pada Tuhan, berarti sama dengan kesetiaan pada manusia?

Menurutku tidak seperti itu. Bukan seperti itu.
Mereka yang mengkhianati Tuhannya demi cinta, demi kemanusiaan...

Coba lihat lebih dalam. Yang mereka khianati itu, SUNGGUH2 TUHANKAH?

Atau.. itu hanya Tuhan yang diciptakan oleh manusia untuk membenarkan semua lakunya?? Untuk membenarkan pengkhianatan mereka atas cinta yang seharusnya?

Lihat lebih dalam. 

#LunaAir

Aku menuliskan kalimat itu di akun Luna Air-ku, dan mempostingnya. 

Aku yakin Gerhana akan membacanya.

#TaniaLuna

LUNA DI MATA MAMA (55)

Makan malam di rumah kali ini sungguh tidak nyaman. Berhadapan dengan Mama dan Yhuna yang diam dan mengikuti pembicaraan kami berdua. Mama juga tidak berusaha menjadikan pembicaraan ini sebagai pembicaraan private. Mungkin dia memang mau Yhuna tau apa pendapatnya tentang Luna.

"Mama memang selalu menyuruhmu mencari pacar, Yudhis. Setelah Alya, kau tidak pernah lagi menggandeng seorang perempuan pun ke hadapan Mama. Tapi terus terang, Mama cukup kaget dengan seleramu kali ini Yudhis."

Aku hanya diam sambil menyuapkan makanan ke dalam mulutku. 

"Luna kan? Dia itu Cina, Yudhis. Dan dia non muslim. Dia juga penderita kanker payudara. Apa kau tau, kanker itu adalah salah satu jenis penyakit paling mematikan, dan bisa dikatakan tidak ada obatnya? Dia mungkin saja berhasil mengalahkan penyakitnya kali ini, tapi nanti... Beberapa tahun lagi... Bisa saja kanker itu kembali kepadanya. Dan kamu, Yudhistira Asa. Apa sudah siap dengan semua kemungkinan itu???" tanya Mama, menyebutkan nama lengkapku, menunjukkan keseriusannya.

Aku masih diam. 

"Jika kau memilih Luna, berarti kau membuat malu Papa dan Mamamu, Yudhis. Apa kata orang?? Apa kau tidak tahu apa kedudukan Papa? Orang2 akan memakai isu ini untuk menjatuhkan wibawa Papamu, Yudhis. Kau bisa saja memilih tetap menikahi Luna. Tapi apa kau tega, membiarkan keluargamu menanggung malu karenamu?"

Aku menghela nafasku. Sebagai anak lelaki paling tua, sulung di antara 3 bersaudara, aku memikul tanggung jawab terbesar untuk menjaga nama baik keluargaku. 

Ah. Apakah... Aku harus melepaskan Luna?

#TaniaLuna
LEBIH CINTA? (56)

“Dalam kisah cinta beda agama, siapa yang lebih mencintai, dialah yang akan mengalah.”

Begitu yang kutulis dalam status FB Luna Air-ku.

Gerhana memasang jempolnya, beberapa menit setelah statusku diposting. 

"Apa kau yakin dia cukup mencintaimu dan mau mengalah untukmu?" komennya. 

Kupasang emo hati di komennya. "Aku tidak tau. Tapi kukira... Cintaku padanya cukup banyak, sehingga aku bisa mengalah untuknya.”

Gerhana terdiam. Tak lama kemudian, messengerku menyala. "Kau akan pindah agama?? Demi dia?"

Aku tersenyum, "Kau tau apa pendapatku tentang agama dan Tuhan, bukan? Bagiku... Tuhan yang mana saja... Tidak berbeda. Aku bahkan bukan orang yang percaya pada Tuhan yang diceritakan orang2 di dalam kitab suci. Jadi... Kukira sudah tepat, jika aku yang mengalah." 

"Luna..." 

"Ya?"

Tidak ada jawaban lagi. Tapi kemudian, aku membaca status FB-nya. 

"Ada yang melacurkan Tuhannya, demi apa yang disebut cinta. Padahal dia bahkan tidak bisa meyakinkan dirinya seberapa dalam laki2 itu mencintainya!”

Hm. That's it. Lagi-lagi, dia menghakimiku. Sama seperti kasus Andika dulu. 

Log Out.

#TaniaLuna
LUNA AIR (57)

“Apa kau memberitahukan Yudhis tentang akun Luna Air kamu ini?” Inbox Gerhana kubaca pagi ini. Dikirim pukul 01.30 dini hari.

Aku terdiam membacanya. Tidak, aku tidak memberitahukan pada Yudhis tentang akun ini.

Aku membuka kembali semua status2 FB akun Luna Air-ku. Membaca kembali semuanya satu persatu. Termasuk di dalamnya, beberapa konflik dengan orang-orang di dunia maya.

Aku merasa... Yudhis tidak akan bisa memahami akun Luna Air-ku ini. Akun pemberontak, yang punya begitu banyak hater. Jika Yudhis tau akun ini... Aku akan merasa "telanjang" di hadapannya. Dan kemudian, aku akan kehilangan kebebasan berbicaraku, karena selalu memikirkan apa pendapatnya tentang tulisanku nanti.

Tidak. Aku tidak akan memberitahukan Yudhis tentang akun ini. Entah nanti. Tapi saat ini... Belum waktunya Yudhis untuk tau. Aku masih membutuhkan kebebasanku...

Kutinggalkan inbox dari Gerhana tanpa dijawab. Sebab aku sudah tau apa yang akan dia katakan jika aku menjawab pertanyaannya. Berbohong pada Gerhana? Bahwa Yudhis tau tentang akun ini??

Tidak. Aku tidak merasa perlu berbohong, apalagi untuk seorang Gerhana. Dia toh tidak memiliki hak untuk mendapatkan jawaban atas semua pertanyaannya padaku.

#TaniaLuna
PILIHAN (58)

Aku sudah hampir tertidur ketika HP-ku berbunyi. Telpon dari Gerhana?
Ah. Bukan. Mama yang telpon. Kuangkat telpon itu pada dering ke-3. 

"Luna?"
"Ya, Mama."
"Bagaimana kabarmu, Nak? Kau masih rutin cek ke RS kan?"
"Ya, Ma. Ndak ada masalah. Ndak usah khawatir, Mama. Aku baik-baik saja."
"Oh syukurlah. Puji Tuhan." Aku terdiam. "Oh ya, Luna. Anak Nathan sudah lahir. Perempuan. Namanya Tania. Kemarin Nathan datang memberikan undangan selamatan 1 bulan anaknya ke rumah Mama."

Oh. Tania... Aku sangat ingat dengan nama itu. "Jika kelak kita menikah, dan anak kita perempuan, kita namakan Tania. Kalau laki-laki, kita namakan Tristan." Bayangan masa lalu berkelebat di dalam benakku. Dan Nathan menggunakan nama itu, untuk anaknya dan Mitha. Bukan untuk anak kami...
Duh. Aku kok jadi baper...

"Luna?"
"Ya, Mama."
"Kau baik-baik saja? Ada yang mau kau sampaikan ke Mama?"
"Hmm.. Iya, Mama. Luna mau kasi tau Mama. Luna sudah punya pacar, Mama. Namanya Yudhistira. Kami ketemu di Yayasan Kanker Anak tempatku jadi volunteer..."
"Oh ya? Kapan akan kau kenalkan sama Mama?"
"Haha.. Kapan Mama ke Jakarta? Nanti akan kukenalkan."
"Ah, Mama sungguh senang mendengarnya Luna.”
“Hmm.. Tapi, Mama.. Dia anak petinggi TNI di negri ini, dan… hmm.. anu.. Dia bukan Cina, dan dia… muslim.”

Agak lama di seberang sana tidak ada jawaban. Kemudian terdengar suara Mama, “Lalu?”

“Bukankah Mama selalu berkata, bahwa seorang istri, sudah seharusnya mengikuti agama suaminya?”

Mama terdiam. “Pikirkanlah dengan hati-hati, Luna. Apapun keputusanmu, kau pasti sudah tau semua konsekuensinya," kata Mama, sebelum menutup teleponnya. 

#TaniaLuna

DITA (59)

Namanya Dita. Cuma Dita. Tidak ada nama belakangnya. Anak yang kujadikan anak asuhku. Hampir tiap hari dia datang ke kantorku jualan kue-kue di tempat pos satpam. 

"Kak Luna..." Dita menatapku dengan pandangan ragu, saat aku sibuk memilih beberapa kue untuk teman ngopi di sore hari.

"Ya?" 

"Mama... Kak Luna..."
"Mamamu kenapa, Dita?"
"Hmmm... Beberapa bulan lalu Mama menikah lagi dengan Om Karno. Lalu, Om Karno sekarang tinggal bersama kami di rumah..."
"Oh. Bagus dong, Dita. Kamu jadi punya Papa, kan?" Aku tersenyum, turut gembira. Yang kubayangkan, beban hidup Mama Dita pasti akan berkurang, dan sekarang Dita akan punya Papa yang bisa melindunginya.

"Tapi Kak Luna..."
"Heh?" Aku menaikkan sebelah alisku. "Ada apa, Dita?" Sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan oleh Dita dan mau dia sampaikan kepadaku.

"Om Karno... Suka menyuruhku memijat tubuhnya saat Mama pergi kerja... Dan dia... "

"Dia kenapa, Dita?"

"Om Karno... Eh. Papa... Eh. Om..." Dita seperti kesulitan menemukan panggilan yang tepat untuk laki-laki yang menikahi ibunya itu. Dita sekarang berumur 11 tahun, dan sudah kelas 4 SD. Aku memegang bahunya, menatap matanya. 

"Kenapa Dita?" 

"Om Karno... Suka meraba-raba tubuhku.. Dan menyuruhku... menyentuhnya... di..." Wajah Dita memerah. 

"Hah?" Aku kaget. "Dita tidak boleh membiarkan siapapun menyentuh bagian tubuh Dita yang bersifat pribadi. Dita tahu itu kan?" tanyaku.

"Iya, makanya, Kak Luna..."

"Dita ada ngomong sama Mama?"

"Dita takut, Kak..."

Aduh. Harus bagaimana?

#TaniaLuna

Catatan: Baca kisah DITA di episode sebelumnya LUNA AIR (18).

HARUS BAGAIMANA (60)

Aku memikirkan Dita. Harus bagaimana? Menemui ibunya? Di mana? Di rumahnya? Ada Om Karno di sana. Jelas bukan tempat yang tepat untuk bicara.

Menunggu Om Karno pergi? Kapan? Orang itu kerja serabutan, kata Dita. Tak tentu kapan pulang kapan datang.

Menyuruh Dita pergi dari rumahnya dan tinggal bersamaku? Tetap saja harus bicara dengan ibunya, dan ibunya juga kemungkinan besar tidak akan setuju.

Aku pun tidak tau seberapa besar dan dalam hubungan antara ibu Dita dan Om Karno itu. 

“Dita, cari waktu, kalau Om Karno ndak ada, kasi tahu Mama.” Akhirnya itu yang kupesankan pada Dita. “Nanti kasi tahu Kak Luna, apa jawaban dan tanggapan Mama Dita. Dan kalau Mama Dita tak ada di rumah, Dita pergi saja ke rumah teman, atau ke rumah tetangga...”

Dita menatapku, “Dita takut, Kak...”

“Ya. Ngak papa. Dita ngomong langsung saja sama Mama Dita dulu. Nanti Kak Luna bantu bicara dengan Mama,” kataku.

Kemudian Dita pergi. Dan sudah seminggu setelah kejadian itu, dia tak datang lagi berjualan kue ke kantor ini.

Aku mulai khawatir. Ke mana Dita? Ada apa dengan dia?

#TaniaLuna
MENGHILANG (61)

Aku tidak tahu alamat rumah Dita. Hanya ingat sekolahnya, dari rapor yang dia serahkan padaku setiap kenaikan kelas. Mungkin jika aku mencarinya ke sekolah, aku akan bisa menemuinya. Jika tidak, setidaknya aku akan bisa mendapatkan alamatnya. 

Aku meminta Yudhis untuk menemaniku ke sekolah Dita. SDN 68 di sudut kota Jakarta. Mencari alamatnya di google dan kemudian pergi ke sana. 

Kami menemui guru wali kelas Dita dan mendapatkan keterangan bahwa memang sudah seminggu ini Dita tidak masuk sekolah. Aku meminta alamat Dita, dan wali kelasnya mencarikan data Dita di dalam data siswa kelasnya. 

Ternyata mencari alamat Dita bukan hal mudah. Keluar masuk gang kumuh, tidak ada satupun yang tau alamat yang kusodorkan... 

Setelah hampir setengah harian, akhirnya ada pemilik warung yang mengaku mengenal Dita dan ibunya, setelah kami sodorkan alamat itu.

“Itu rumah kontrakan, Mbak. Tapi mereka sekarang sudah tidak tinggal lagi di sana. Kemaren dulu itu sempat terjadi keributan... Lalu paginya, ibu dan anak itu menghilang dari rumahnya, Mbak. Entah ke mana...”

Aku menatap Yudhis. Dia merangkulkan lengannya ke bahuku. Kami berpamitan pada ibu warung itu, lalu pulang.

“Kukira Ibunya sudah tahu kelakuan Om Karno pada Dita, dan memutuskan membawa Dita pergi..,” Yudhis berkata padaku di dalam mobil.

“Iya,” Aku menjawab singkat. Tak tahu harus berkata apa lagi. 

#TaniaLuna

UNDANGAN PERNIKAHAN (62)

“Luna, bulan depan adik perempuanku menikah. Aku ingin mengundangmu. Apa kau mau datang? Nanti tiket dan hotelmu akan kupesankan.”

Aku baru mengucapkan sapa “Hallo,” dan Gerhana langsung menyambutnya dengan pertanyaan itu. Pernikahan adiknya? Untuk apa mengundangku?

“Tidak ah. Untuk apa kau mengundangku? Aku ndak kenal adikmu...”

“Ya makanya, kenalan lah. Lagipula kan bisa sekalian liburan. Ambil cuti seminggu. Setelah pesta pernikahan adikku selesai, akan kuajak kau keliling kota M. Di sini banyak tempat wisata yang keren dan makanannya pun enak-enak.”

“Hmm..” Aku diam. Sepertinya ini tawaran yang menarik. “Boleh ajak teman?” tanyaku. 

“Oh. Kau mau ajak teman? Teman atau pacar?” 

“Ahahaha..” Aku tertawa. “Iya, aku mau ajak Yudhis.”

Gerhana terdiam. “Jangan dong... Kalau mau datang, datang sendiri. Nanti aku jemput. Tapi kalau mau datang sama Yudhis, ya ngak usahlah. Nanti suasananya jadi ngak enak...”

“Oh iya. Aku lupa kau benci sama Yudhis.”

“Bukan benci. Aku hanya ngak suka saja...”

“Iya deh. Ndak papa.”

Beberapa jam kemudian, WA-ku berbunyi, pesan dari Gerhana, “Baiklah, kau boleh ajak Yudhis. Tar kupesankan hotelnya. Satu kamar atau dua kamar?”

Aku langsung ketawa ngakak.

#TaniaLuna

NATAL BERSAMA LUNA (63)

Malam natal. Pukul 6 sore aku sudah ada di apartemen Luna. Menjemputnya untuk pergi ikut ibadah misa natal. Acaranya dimulai 2 jam lagi, tetapi Luna bilang bakalan susah cari parkir dan tempat duduk jika kami tidak datang awal.

Memasuki ruang parkiran Gereja, lalu turun dari mobil, sepanjang jalan aku hanya mengikuti Luna. Masuk ke ruangan Gereja, Luna mengambil air dan membuat salib kecil di dirinya, lalu kami mencari tempat duduk. 

Selama prosesi ibadat berlangsung, aku hanya duduk saja. Ketika Luna berlutut, lalu berdiri, lalu berjalan menuju altar dan menyambut tubuh Yesus, aku hanya duduk saja di tempatku, menikmati alunan lagu yang dinyanyikan oleh koor gereja.

“Yudhistira?” Tiba2 ada yang menyapaku ketika dia berjalan melewati kursi tempat dudukku. 

“Tante Natalia,” Aku mengangguk menyapa. Temannya Mama.

“Kok kamu di sini?” Dia bertanya heran.

Aku tersenyum dan melirik ke Luna, “Menemani pacar, Tante,” jawabku.

Tante Natalia tersenyum, lalu melambai dan berjalan menjauh.

Luna menyentuh jemariku, “Kamu yakin, kamu boleh berada di dalam gereja ini?” 

Aku tersenyum. “Mengapa tidak, Luna? Bukankah Tuhanmu adalah nabiku juga?”

Luna menggenggam tanganku. Menekannya 3x. 

I
Love
You.

Ya. Itu kode cinta kami, tanpa kata. Tiga tekanan dalam genggaman tangan.

I love you, Luna. Merry Christmas. Aku membalas menekan 3x di telapak tangannya.

#TaniaLuna

TIKET (64)

"Aku diundang ke pernikahan adiknya Gerhana di kota M," kataku pada Yudhis. "Kau mau ikut?"

"Tanggal berapa?" tanya Yudhis.

"Tanggal 21 Januari." 

Yudhis melirik kalender di smartphonenya. "Ah, maaf. Aku ada acara keluarga hari itu. Mau ke Samarinda, ulang tahun Kakek." 

"Lalu? Aku pergi sendiri?" tanyaku.

"Ya, pergilah sendiri. Ngak papa kan?" tanya Yudhis sambil menarikku mendekat, dan mencuri sebuah kecupan singkat di bibirku. 

"Hhmmm.. Baiklah kalau begitu." 

Setelah diantar Yudhis sampai ke apartemenku, aku membuka WA-ku, dan mengirimkan pesan:

"Aku akan datang sendiri ke kotamu."

Tak sampai 5 detik kemudian, hp-ku berbunyi. 

"Jadi datang sendiri?" Suara Gerhana langsung terdengar bahkan sebelum aku mengucapkan "Hallo".

"Yoooo." 

"Pacarmu ndak jadi ikut?"

"Ndak jadi. Dia ada acara keluarga. Kakeknya ulang tahun." 

"Oh. Oke. Bentar yaaaa.."

Telepon ditutup oleh Gerhana. Setengah jam kemudian WA-ku berbunyi. Screenshoot tiket penerbangan dan hotel yang dipesan lewat Traveloka sudah ada di sana. 

Gerhana. Aku terpana(h). 

#TaniaLuna
KOTA M (65).

Sabtu siang aku tiba di bandara kotanya Gerhana. Dan dia sudah ada di sana. Lengkap dengan senyum lebarnya saat melihatku berjalan ke arahnya sambil menyeret koper kecilku. 

Begitu sampai di hadapannya, dengan ringan dia mengambil alih koperku, lalu berjalan mendahuluiku. Aku mengikuti di sampingnya.

Setelah memasukkan koper kecilku ke belakang bagasi mobilnya, dia membukakan pintu mobil di sebelah kiri untukku, menungguku masuk, menutupnya kembali, lalu berjalan memutar dan masuk ke belakang kemudi. 

"Kita makan dulu, ya!" katanya sambil tersenyum. Itu pernyataan, bukan pertanyaan. Aku hanya mengangguk. Lalu asyik menikmati setiap pemandangan yang disajikan dari balik jendela mobil. 

"Aku senang kau datang sendiri," kata Gerhana.

"Aku tau," jawabku singkat. Dia tertawa. 

"Jadi sekarang aku adalah selingkuhanmu di sini," katanya lagi. 

Giliranku yang tertawa. "Selingkuhan apa? Jangan ngawur. Kita ini teman!" 

Gerhana tertawa. "Besok pagi aku akan sangat sibuk dengan semua seremony acara di rumah. Setelah acara tea pay selesai, kau akan kujemput untuk menghadiri pemberkatan di Gereja. Acaranya jam 11. Kau akan kujemput jam 10.30." 

"Oke." Aku sudah membawa gaun panjangku. Nanti tinggal mencari salon di sekitar hotel dan bikin janji untuk make up. 

"Pokoknya kau jadi pendampingku besok ya. Pura-pura jadi pacarku saja. Aku suka risih kalau ditanya-tanya soal pacar oleh keluarga besarku."

"Serius? Gila lo. Masak mau ngakuin aku jadi pacarmu? Ngak mau ah. Aku akan bilang kalau kita ini teman. Cuma teman."

Gerhana tertawa. Duh. Ketawa mulu. Bikin aku jadi bete. 

#TaniaLuna
#EH (66).

Pukul 8 pagi aku sudah duduk manis di salon. Make-up dan hair-do. Pukul 10.30 Gerhana datang menjemput dan aku sudah siap dengan gaun panjang berwarna salem.

Upacara pernikahan yang syahdu di Gereja. "Apa yang sudah dipersatukan oleh Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia." Begitu pastor berucap. Dan aku melirik Gerhana. Apa kabar dia, yang pernah dinikahi di dalam gereja ini?

Pemberkatan pernikahan berjalan dengan lancar, diakhiri dengan pelepasan balon di akhir acara. Setelah itu, acara resepsi diadakan di sore hari. 

Untunglah kebanyakan keluarga cukup sibuk dengan sang pengantin sehingga aku dan Gerhana tidak dijadikan pusat perhatian. 

Pukul 9 malam, acara selesai, dan Gerhana mengantarkanku kembali ke hotel. 

“Besok pagi, kujemput ya, jam 8. Akan kuajak kau keliling kota ini,” kata Gerhana. Aku mengangguk. Dia mengikutiku masuk ke dalam lift. “Aku minta secangkir kopi,” katanya sambil mengedipkan matanya. Aku mengangkat bahu. “Masih awal kan?” Lanjutnya sambil tersenyum.

Tiba di kamar hotelku, aku persilakan dia masuk. Memasak air panas dengan alat yang ada di kamar hotel, dan menyiapkan kopi saset yang tersedia di meja. 

Dua cangkir kopi, dan kami ngobrol sambil menonton TV. Berdebat tentang hal2 yang tidak penting. Tiba2 tangannya terulur menarik lepas gulungan rambutku.

“Tuh, kamu lebih manis kalo rambutnya terurai,” katanya. Reflek aku bergerak merebut kembali pengikat rambutku, ketika tiba2 dia menundukkan wajahnya dan mengulum bibirku.

#Eh.

#TaniaLuna
ALASAN CIUMANKU (67)

Eh! Aku tersentak kaget, dan otomatis menarik wajahku ke belakang.

“Apa-apaan sih, Ge?!”

“Tidak apa-apa. Hanya ingin menciummu saja, karena kau terlihat sangat manis dan cantik.”

“Cuma itu alasanmu untuk mencium seorang wanita?”

“Perlu alasan lain?”

“Ya.”

“Alasan apa lagi?” tanya Gege, menantang.

“Cinta misalnya.”

“Aku cinta,” jawabnya sambil menatap tepat di mataku. 

Aku melengos. Jengah. “Tapi aku tidak.”

“Ah. Kau ini. Coba jujur kenapa. Jika tak cinta, tak mungkin kau akan mau datang sendirian ke sini. Tak mungkin kau akan percaya sebegitunya padaku. Tak mungkin kau akan nyaman untuk bersamaku berdua saja selama beberapa hari di sini.”

“Kita kan teman!” Aku menjawab ketus.

“Teman?” Gege tersenyum. “Kamu sama teman priamu yang lain juga seperti ini? Berdua di dalam kamar hotel, di kota asing, dan berdebat tentang hakekat teman?”

Gege mendekatkan wajahnya, dan meletakkan telapak tangannya ke wajahku, menarikku mendekat. Aku mencoba menahan, tetapi tenaganya lebih besar dariku. Kembali dia menciumku. Melumat bibirku. Lama. Aku tergagap menahan nafas. Kemudian dia melepaskan ciumannya.

“Aku pulang. Besok kau kujemput jam 8 pagi,” katanya. Meneguk kopinya sampai habis, berdiri, kemudian berjalan ke pintu, dan menutupnya dari luar.

Aku diam menatap pintu yang tertutup di hadapanku. 

#TaniaLuna
GEGE (68).

Pukul 8 pagi aku tiba di hotel A. Sampai di lobby aku menelpon Luna. Tidak ada nada sambung. Setengah heran, aku berjalan menuju resepsionis, minta tolong untuk di telponkan ke kamar-nya Luna. 

“Oh. Ibu Luna sudah check out tadi pagi, Pak,” kata resepsionisnya setelah memeriksa data di dalam komputernya.

“Ha? Oh. Terima kasih, Mbak.”

Aku membuka aplikasi di hp-ku. Mengecek jadwal pesawat. Ada pesawat pukul 9.30 hari ini menuju Jakarta.

Luna pulang? Tanpa pamit?

Aku mendengus kesal. Berlari ke mobilku. Dan melaju menuju bandara. Semoga masih bisa terkejar sebelum dia pergi. Aduh!

Kemarin, waktu aku menciumnya pertama kali, dia diam. Tapi tidak terlihat marah. Hanya sedikit kaget. 

Makanya aku menciumnya lagi. Untuk memastikan perasaannya padaku. Menunggu reaksinya. Jika dia diam.. jika dia menunggu.. jika dia membalas.. atau dia marah.. 

Tapi ternyata dugaanku salah. Pandangan matanya horor. Dia ketakutan. Tubuhnya gemetar dalam pelukku. Tangannya dingin. Apa dia pikir, aku akan memperkosanya waktu itu? Apa dia pikir, aku manusia serendah itu? 

Waktu itu aku melepaskan ciumanku dengan sedikit perasaan marah. Aku tak pernah perlu memaksa perempuan manapun untuk bercinta denganku. Mereka yang datang melata-lata padaku. Mengapa dia setakut itu padaku?! Mengapa seburuk itu dia menilaiku?!

Dan kini dia pulang. Tanpa pamit. HP dan WA-ku diblokir. 

Damn! 

#TaniaLuna
DITA (69)

Baru saja aku membuka HP-ku ketika pesawat mendarat di bandara Soetta saat panggilan masuk dari Kayang datang padaku.

“Luna? Darimana saja kamu? Dari tadi aku telepon ndak nyambung…” Suara Kayang langsung terdengar di telingaku.

“Aku baru aktifkan HP-ku. Tadi di dalam pesawat. Ada apa, Kayang?”

“Dita.” Jawaban Kayang membuat jantungku berhenti berdetak.

“Ada apa dengan Dita?”

“Tadi ada polisi yang datang mencarimu. Katanya Dita memerlukanmu. Saat ini Dita sedang ada di kantor polisi.”

“Hah? Kenapa?”

“Tadi aku sempat bertanya sedikit padanya… Ayah tiri Dita, diadukan ke polisi karena melakukan kekerasan pada dia dan ibunya. Sekarang Dita dan Ibunya ada di kantor polisi. Katanya Dita mau bertemu denganmu…”

Aku langsung terbayang cerita Dita tentang ayah tirinya itu. Siapa itu namanya? Karno? Ya. Om Karno, Dita memanggilnya seperti itu. Ternyata Dita dan ibunya masih belum melepaskan diri dari lelaki brengsek itu.

“Sekarang Dita di mana, Kay?”

Kayang memberikanku alamat kantor polisi tempat Dita berada. Setelah mengambil bagasiku, aku langsung menuju ke sana.

#TaniaLuna
PPA (70).

Sampai di Polres aku diarahkan ke bagian unit PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak), dan melihat Dita di sana bersama ibunya. Ada seorang ibu berjilbab yang juga ada di sana, memperkenalkan diri padaku sebagai pekerja Komnas Perlindungan Anak. 

Aku berjalan mendekati Dita dan memeluknya. Keadaannya terlihat kacau. Petugas polisi di sana menceritakan kejadiannya secara singkat padaku, bahwa Dita dan Ibunya ada di sini sebagai korban atas kekerasan fisik (pemukulan) yang dilakukan oleh Om Karno pada mereka. Dita mulai menangis dalam pelukanku. Ibu dari Komnas Anak menyatakan bahwa mereka membutuhkan visum lebih lanjut untuk bisa menjerat Om Karno untuk tuntutan pemerkosaan anak. Dan karena itu mereka membutuhkanku untuk berbicara pada Dita yang terlihat trauma dan shock.

“Ada apa, Dita?” Aku berjongkok di depan Dita, menatap matanya. “Bisa kami bicara berdua saja, Pak?” tanyaku pada petugas polisi yang ada di sana.

“Bisa, Bu,” kata pak polisi itu, lalu membawa kami ke sebuah ruangan kosong. 

Hanya ada aku dan Dita di sana. Aku bertanya padanya, apa yang terjadi. Tangisnya pecah kembali. Tersenguk Dita mulai bercerita padaku, tentang apa yang dia alami selama ini, dan bagaimana sampai dia berada di kantor polisi saat ini.

Setelah Dita bercerita pada ibunya tentang perlakuan Om Karno padanya. Ibunya kemudian memutuskan untuk pergi dan menjauh dari Om Karno. Tetapi ternyata suatu hari Om Karno mengikuti ibunya pulang dari tempat ibunya bekerja, dan akhirnya menemukan mereka. Om Karno meminta maaf dan memohon pada ibu Dita, agar mau percaya padanya, bahwa dia tidak melakukan apapun yang tidak pantas kepada Dita.

Ibunya percaya, dan memberikan Karno kesempatan lagi. Sampai kemarin malam, Om Karno memaksa Dita untuk melakukan hubungan badan dengannya. Dita menjerit, menolak, berontak, tetapi tidak kuasa melawan. Ketika ibunya pulang, semua sudah terjadi. Melihat Dita yang terluka, shock dan trauma, ibunya kalap, menyerang Om Karno dan Om Karno membalas memukuli mereka berdua. Keadaan begitu menakutkan waktu itu, sampai seorang tetangga melaporkan ke pak RT yang langsung memanggil polisi. 

Mendengar cerita Dita, Aku hanya bisa memeluknya. Menenangkannya. Meyakinkannya bahwa hal ini tak akan pernah terulang lagi padanya. Meminta maaf karena tidak bisa melindunginya saat itu. Aku menangis bersamanya. Laki2 bejat itu, tak akan kuampuni.

“Dita, kita ke RS ya.. Kak Luna akan menemani Dita, bersama Mama. Kita akan hukum Om Karno seberat2nya untuk semua perbuatannya ini.”

Dita menatapku dengan matanya yang kosong, tapi dia mengangguk pelan. 

Kami kembali ke ruangan itu, menemui Ibu dari Komnas Anak dan ibu Dita. 

“Kita akan ke Rumah Sakit untuk melakukan visum pada Dita ya, Bu...” Aku memegang tangan ibu Dita. Beliau membalas pandangan mataku dan air matanya jatuh ke pipinya, lalu mengangguk.

#TaniaLuna
THE LAWYER (71).

Ditemani oleh seorang polwan, kami (aku, ibunya dan Dita) menuju ke RS yang ditunjuk untuk melakukan visum lanjutan, melengkapi tuntutan seksual abuse terhadap Om Karno. Aku tidak akan membiarkan bajingan ini lolos dari hukuman. Tidak akan. 
Dalam perjalananku ke RS, di lorong ketika akan meninggalkan kantor polisi, Dita menunjuk ke arah seorang lelaki yang masuk ke sebuah ruangan, "Itu Om Karno," katanya. Tubuhnya merapat ke tubuhku.

Aku mengikuti arah telunjuknya. Tapi mataku malah tertuju pada sosok pria dengan pakaian jas resmi yang berada bersama Om Karno yang ditunjuk oleh Dita. Orang itu... Kenapa sepertinya aku kenal? Tapi... Ah. Itu tidak mungkin. Tidak mungkin dia. 

Aku menggelengkan kepalaku, mengusir kenangan itu, ketika sosok Om Karno dan pria itu menghilang ke balik pintu ruang pemeriksaan. 

Di rumah sakit, Ibu Dita masuk ke dalam ruangan pemeriksaan bersama Dita untuk melakukan visum, dan aku harus menunggu di luar. Setelah selesai pemeriksaannya, aku bertanya tentang hasil visum itu kepada polwan yang menemani kami, dan mendapatkan keterangan bahwa memang ditemukan bekas luka benda tumpul yang merobek jaringan selaput dara pada vagina Dita. Bukti itu cukup untuk menuntut Om Karno atas pemerkosaan terhadap Dita. 

Kami kembali ke kantor polisi untuk menyelesaikan semua administrasi yang diperlukan. Aku melihat Om Karno masih ada di ruangan tadi, bersama dengan 2 orang pria lain. 

“Itu Karno, sedang bersama siapa, Pak?” tanyaku pada polisi yang ada di depanku.
“Itu pengacara public-nya,” Pak Polisi menjawab pertanyaanku.
“Oh.” 

#TaniaLuna



Tidak ada komentar:

Posting Komentar