Selasa, 27 Maret 2018

SURGA


Ketika fokus kita masih tentang surga dan neraka. Lalu berpendapat bahwa tanpa itu dunia akan jadi barbar. Lihatlah dan berkacalah pada negara2 tanpa agama di belahan dunia lain. 

Ketika kita melakukan sesuatu hanya demi surga dan karena takut neraka. Lalu berpendapat tanpa agama semua manusia akan menjadi barbar. Lalu mulai ketakutan pada semua simbol yang akan membawamu ke neraka. Takut pada semua godaan yang akan merayumu ke neraka. Lalu satu persatu kau mulai menghilangkan mereka. Mengharamkan mereka. Membangun kubah tinggi untuk meyakinkan dirimu layak masuk ke surga dan terhindar dari neraka.

Apa kau tau, Kawan??

Surga telah membuatmu menjadi tamak, karena kau ingin memasukinya dengan menghalalkan segala cara.

Dan ketamakan.. kukira tidak cocok untuk penghuni surga.

#TaniaLuna

https://www.facebook.com/photo.php?fbid=1565627996890072&set=pb.100003286597577.-2207520000.1522210186.&type=3&theater

TAKUT APA


Tentang Kamu


Tentang kamu.

Kau adalah angin. Yang dulu tak tersentuh. Aku tak berani mendekat. Jarak selalu kujaga, agar tidak menabrak. Mengikuti di belakangmu, dalam jarak aman.

Lalu tiba-tiba kau menghentikan langkahmu. Menghilang. Dan aku menunggu. Dalam diam.

Kemudian kau datang sebagai hujan.
Ah. Kau tau, aku tak suka hujan.. Tapi aku suka angin yang ada di dalam hujan itu.

Lalu tiba2 angin topan itu melembut. Menjadi sepoi. Merayu. Menyusup diam-diam. Menawarkan genggaman tangan. Erat.

Ah. Aku cemburu pada daun2 dan burung2 yang menyukai angin sepoi2mu..

#TaniaLuna

https://www.facebook.com/photo.php?fbid=1611672138952324&set=pb.100003286597577.-2207520000.1522209861.&type=3&theater

Hidup adalah bagian dari takdir dan pilihan


Hidup adalah bagian dari takdir dan pilihan.
Tetapi bahagia tiap orang itu berbeda.

Maka bahagiamu, adalah urusanmu.
Bahagiaku, adalah urusanku.

Tak perlu kau merasa lebih bahagia dari aku hanya karena kau memiliki apa yang tidak kumiliki, karena jika ku miliki apa yang kau miliki, belum tentu aku akan bahagia.

#TaniaLuna
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=1616990165087188&set=pb.100003286597577.-2207520000.1522209451.&type=3&theater

Akhiri Saja


Kita akhiri saja. 
Ratusan kali aku memohonkan itu padamu.
Akhiri saja. 
Bukan karena kau melakukan kesalahan.
Bukan karena aku mencintai orang lain.

Bolehkah kita akhiri saja,
Dengan alasan yang paling sederhana,
Aku tak bahagia bersamamu??

Kau menarik tali kekangku begitu erat.
Tak ingin melepas,
Tapi juga tak bisa menjaga..

Untuk apa??

#TaniaLuna
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=1630613707058167&set=pb.100003286597577.-2207520000.1522207694.&type=3&theater

Sepatuku


Di luar sana ada ratusan orang yang siap menggantikanku. 
Ingin memakai sepatuku. 
Maka kau pilihlah satu.
Lepaskan aku.

Kita hidup di dalam ketakutan demi ketakutan,
Pembuktian demi pembuktian,
Lupa untuk bahagia..

#TaniaLuna
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=1630665057053032&set=pb.100003286597577.-2207520000.1522207694.&type=3&theater

Kewajiban Anak


Liat meme “bukan kewajiban anak membahagiakan ortu” lewat di mana2. 
Heran gw sama anak jaman sekarang. 
Kalo lo merasa kebahagiaan ortumu bukan tanggung jawabmu, ya monggo sana sendiri.

Kalau kau merasa ndak minta dilahirkan, lalu menyesal karena dilahirkan, ya monggo sana sendiri.

Kalau kau merasa tanggung jawabmu hanya bahagiamu sendiri, ya monggo sana sendiri.

Ndak usah bikin meme sok bijak ngajak-ngajak gituh kalo emang ortumu tak mampu membesarkan seorang anak yang memiliki cinta di dalam hatinya. 

Anjing aja akan gw pelihara dan jaga sampai mati. Apalagi ini adalah ortu.

Gituh aja kalo gw mah.

Yang mau jadi ortu “bahagia” tanpa merepotkan anak, juga monggo lho ya.. Gw bilang sih keren lah kalo ortu kayak gitu. Tapi juga ndak usah ngajak2. Hidup aja masing2. Bahagia masing2 kan beda.. 

Kalo lo ndak bahagia bersama anak2mu, maunya sendiri di panti jompo, ya itu bahagiamu. Biar ortu lain mengurus bahagianya sendiri. Ndak perlu juga merasa sok dan bangga karena merasa lebih keren dari ortu lain yang masih tinggal sama anaknya. 

Anak yang ngakunya sayang ortu juga ada, kerjanya mencaci ibu2 pekerja yang meninggalkan anaknya bersama sang nenek. Elehhhh.. elehhh.. Udah merasa paling suci aja dia, ndak pernah menjadikan ortu sebagai pembantu katanya.. Tanpa melihat bahwa ada ortu yang memang bahagia dan memilih menjaga cucunya sendiri, daripada si cucu ditinggalkan bersama baby sitter tukang siksa anak orang. Tanpa melihat bahwa ada ortu yang bahagia melihat anak perempuannya bisa mandiri bekerja dan tidak tergantung penuh pada suami, sehingga bisa tampil lebih pede dan keren, sehingga suami bakalan mikir berkali-kali kalo mau main tangan atau main hati. 

Udah. Urus aja dirimu sendiri. Ndak usah urus ibu dan bapak orang lain.


https://www.facebook.com/photo.php?fbid=1635190789933792&set=pb.100003286597577.-2207520000.1522207694.&type=3&theater


Kita takut melakukan kesalahan


Kita takut melakukan kesalahan, 
Mempertimbangkannya begitu teliti,
Sehingga lupa untuk melangkah. 
Akhirnya tetap saja, kita melakukan kesalahan itu.. 

Di titik ini, 
Aku menyadari bahwa,
Tidak bisa kita menghindari kesalahan..

Maka ambillah keputusan.
Dan jika kesalahan itu kemudian hadir,
Kita selalu punya waktu untuk memilih,
Kembali, tetap melangkah, atau mencari jalan lain.

Kita selalu punya pilihan.
Memperbaiki apa yang ada, 
Melepaskan dan melupakan, 
Atau..
Tetap bertahan dengan luka. 

#TaniaLuna

https://www.facebook.com/photo.php?fbid=1630775970375274&set=a.233535086766043.49744.100003286597577&type=3&theater

Facebook Privacy



Lagi heboh soal #FacebookPrivacy, tentang data2 yang diakses orang melalui fesbuk. Dan herannya, yang heboh itu adalah mereka yang senang banget ikutan kuis2 macam vonvon dkk. 
Waktu mau akses kuis itu, emang ndak baca kah, kalau dia minta akses ke nomor kontak, email, dan sms? Lah, ngapain diiyakan??

Waktu install messenger juga, dia minta akses ke mana2. 
Di WA juga. di LINE juga. 

Jaman sekarang ini, semua isi di HP kita bisa diakses orang lain. Yang pake IOS, tiap bulan backup data ke ICloud. Emang milik siapa itu icloud?? 

Banyak yang "maksa" untuk mendapatkan ijin, karena jika kita tidak mengijinkan akses itu, kita ndak akan bisa buka kuis/ aplikasinya. 

Jadi kalau mau main, kalau mau pakai, ya harus diijinkan. 

Lalu bagaimana?

Ya itulah resiko bermain internet. 
Tidak ada lagi rahasia. Kamu telpon kemana dan kapan, bisa diketahui. 

Dulu aplikasi BBM sebenarnya lebih baik. Dimana kita diberikan pin BB masing2, dan dia ndak akan akses nomor kontak kita. Tapi lihatlah perkembangannya. Saat ini siapa lagi yang pake BBM kan? 

Orang2 lebih suka menjadi stalker, masukin nomor mantan di hp, lalu liatin tiap kali dia ganti poto profile di WA atau LINE. LOL

#TaniaLuna

https://www.facebook.com/photo.php?fbid=1635450036574534&set=a.233535086766043.49744.100003286597577&type=3&theater

We don't judge the book by its cover


We don't judge the book by its cover.

Sudah beberapa bulan ini ada challenge unggah sampul buku selama 7 hari, tanpa caption, tanpa penjelasan apapun. 
Cuman pamer aja. Ini lho gw punya buku ini.

Isinya????? Kamu ndak usah tauuuu!! 

Entah apa gunanya dari challenge seperti itu. Padahal sebagai pembaca fesbuk yang telaten, gw berharap teman2 yang doyan baca buku, bisa memberikan sedikit review atau pendapat tentang buku yang dia unggah di fesbuknya itu. Ceritanya tentang apa, apa kesannya pada tulisan di buku itu, apa yang tertinggal di hatinya setelah membaca buku itu, apa manfaat buku itu baginya.

Rasanya itu akan lebih menarik dan berguna daripada sekedar mengupload sampul buku doang. Kesannya: pamer tanpa guna. 

Boleh pamer tentu saja, tapi minimal usahakan pamer kita itu bisa bikin orang lain lebih pinter atau minimal tau lebih banyak. 
Dan review itu juga setidaknya menunjukkan lo punya buku, dan lo BACA buku itu. Kalo cuman punya buku tanpa dibaca mah, buat apa?? Gw tuh, ada ratusan buku yang gw kagak baca, dipajang di dalam lemari, dan banyak yang dikardusin. Apa mau gw upload satu-satu, lalu ketika ditanya isinya apa, gw jawab KAGAK TAU karena gw KAGAK BACA??

Cobalah bikin challenge yang bikin orang lebih kreatif dan pintar. Bukan cuman asal pamer sampul kosong.

We don't judge the book by its cover. 

#TaniaLuna
~Pic dari Rara Ramadhani

https://www.facebook.com/photo.php?fbid=1636427146476823&set=a.233535086766043.49744.100003286597577&type=3&theater

Rabu, 14 Maret 2018

THALIA PUTRISADEWA


IBU TIRI (1).

“Kau akan punya IBU TIRI?” Helen bicara dengan nada tinggi di telingaku. “Apa kau tak tahu kalau ibu tiri itu jahat? Seperti ibu tirinya Bawang Putih, ibu tiri Putri Salju, Cinderella…” Dia terus menyebutkan sederet nama dalam dongeng yang selalu kami baca bersama waktu kecil. 

“Anty Luna tidak akan jadi ibu tiri yang jahat!” bantahku kesal.

Helen mencibir. “Itu kan harapanmu. Karena kau ingin punya ibu. Coba lihat saja nanti. Nanti kau akan dimarahi kalau nakal, kau akan dicubitin kalau main game sampai malam, kau akan disuruh membereskan kamar dll.. dll..” 

Aku melotot marah. 

“Belum lagi kalau Anty Luna-mu itu punya anak sendiri. Kau tak akan dianggap ada lagi sama dia. Daddymu juga pasti akan lebih sayang sama adik bayimu itu,” lanjut Helen. “Kenapa sih kamu kepengen sekali punya ibu? Padahal aku malah iri pada kamu yang punya Daddy keren dan penuh perhatian, ngak seperti Papaku, yang tiap hari kerjaannya hanya bertengkar sama Mamaku, dan kalau tidak bertengkar, pasti masing-masing sibuk asik dengan hapenya...”

Aku cepat-cepat menghabiskan roti bekalku. Dalam bayanganku, berkelebat kisah Cinderella yang bahagia sebagai anak tunggal papanya, sampai mama tirinya datang dan merampas semua kebahagiaannya. Dalam kisah Cinderella itu, ada ibu peri yang baik hati dan pangeran tampan yang datang menolongnya. 

Bagaimana dalam kisah Thalia Putrisadewa? Akankah ada ibu peri yang datang menolong jika Anty Luna berubah menjadi nenek sihir?



SOFIA THE FIRST (2).

Minggu pagi Anty Luna datang ke rumah. Ketika melihatku, dia mengulurkan sebuah kantong padaku. 

“Apa ini, Anty?” tanyaku.

“DVD Princess Sofia The First,” Anty Luna menjawab sambil tersenyum. Dikeluarkannya DVD itu dari dalam kantong. “Kata teman Anty, anaknya yang seumur Thalia suka sekali nonton ini,” katanya lagi. 

Dia menunjuk seorang anak bergaun ungu di dalam sampul DVD itu. “Anty sudah nonton kemarin di rumah. Putri ini namanya Sofia. Judulnya Sofia The First, karena nama Sofia itu bukan nama untuk Tuan Putri.” 

Aku menatap DVD itu. Menunggu cerita selanjutnya. Anty Luna duduk di sofa, di sebelahku. Lalu melanjutkan ceritanya. “Sofia menjadi Tuan Putri, karena Mamanya, Miranda, menikah dengan Raja Roland II, yang punya dua anak, Pangeran James dan Putri Amber. Mama Pangeran James dan Putri Amber sudah meninggal…” 

“Kayak Mama Thalia?” tanyaku. 

“Iya, kayak Mama Thalia,” jawab Anty Luna.

“Coba nonton kalau sempat, nanti cerita ke Anty bagaimana filmnya. Ceritanya menarik lho. Lihat itu, kalung amulet ungu yang dipakai Sofia, diberikan oleh Raja. Dengan kalung itu, dia bisa bicara dengan binatang, dan bisa memanggil semua princess Disney ke tempatnya,” Anty Luna meneruskan ceritanya dengan semangat.

Aku meliriknya. Sebenarnya cerita ini buat anak-anak atau buat tante-tante, sih? Kok kayaknya malah Anty Luna yang ngefans sama Sofia??

“Nanti aku nonton kalau sudah selesaikan PR-nya, Anty. Terima kasih ya,” kataku akhirnya. 

“Perlu dibantu PRnya?” tanya Anty.

“Tidak perlu, Anty.”

“Oke.” 

Kembali aku meliriknya. Hmm.. kupikir.. Dia lebih cocok jadi kakakku daripada jadi Mommyku. 😏😏😏


JADI MOMMY ITU BERAT (3).

Aku menonton film Sofia The First pemberian Anty Luna. Dan aku menyukainya. Mama Sofia, Ratu Miranda, ternyata sangat baik. Putri Amber harus berbagi perhatian Raja dengan Sofia, dan Sofia juga harus berbagi perhatian ibunya pada putri Amber. 

Putri Amber bisa bersikap jujur pada perasaannya. Rasa irinya, rasa cemburunya, rasa tidak sukanya… Tetapi pada akhirnya, memiliki Ratu Miranda sebagai ibu dan Sofia sebagai adik perempuan, itu terasa sangat menyenangkan.

Ketika sore, Daddy dan Anty Luna pulang, aku sudah menonton beberapa episode lain yang kutonton langsung dari youtube. Kubayangkan Anty Luna sebagai Ratu Miranda. Daddy sebagai Raja Roland II. Dan aku sebagai Putri Amber. Aku tak sabar menunggu kedatangan Sofia sebagai adikku.

Setelah menyapaku, Daddy meninggalkan kami di ruang tamu, menuju ke ruang kerja. Ada beberapa dokumen yang harus dia siapkan untuk besok pagi, dan Anty Luna belum ingin diantar pulang.

“Aku akan nemenin Thalia sampai jam tidurnya, baru kamu antar aku pulang…” katanya pada Daddy.

Di kamarku, di atas tempat tidurku, sambil menonton film Sofia, tiba-tiba Anty Luna bertanya, “Gimana, bagus ngak film-nya?”
“Bagus, Anty. Aku suka sama Sofia. Anaknya baik dan pintar,” jawabku.

“Hmm.. Anty Luna suka sama Amber,” katanya.

“Lho, kenapa?” tanyaku heran.

“Amber itu keren. Dia Tuan Putri yang memiliki hati yang jujur. Saat dia tidak suka, saat dia cemburu, saat dia menyesal dan minta maaf… Anty Luna suka sama Princess Amber.”

“Tapi Amber itu sifatnya jelek, Anty. Dia itu iri sama Sofia,” tangkisku cepat.

Anty Luna tertawa. “Iya, ngak apa-apa kan kalau kita suka sama tokoh cerita yang berbeda?”

Aku diam. “Anty Luna… Akan jadi Mommyku? Kapan?” akhirnya kutanyakan hal itu padanya.
Anty Luna memelukku. Hidungnya digosok-gosokkan di ubun-ubun kepalaku. Aku tidak tahu mengapa dia suka sekali melakukan itu padaku, tapi entah sejak kapan, aku pun suka setiap kali dia melakukannya.

“Thalia… Pasti punya teman dekat di sekolah ya?” tanya Anty Luna, tak menjawab pertanyaanku.

“Iya, namanya Helen.”

“Ohhh. Pernah bertengkar sama Helen?” tanyanya lagi.

“Sering,” jawabku kesal, teringat pembicaraan kami kemarin.

“Helen punya adik?” tanya Anty Luna lagi.

“Ngak ada, Anty. Dia punya kakak perempuan satu,” jawabku. “Tapi dia ngak suka sama kakaknya. Kakaknya suka gangguin dia.”

Anty Luna tertawa. “Kakaknya itu pasti sayang sama Helen. Anty Luna yakin itu. Dan Anty juga yakin kalau Helen juga sayang sama kakaknya. Nanti suatu saat, Thalia akan bisa membuktikan kata-kata Anty ini.”

Lalu Anty Luna menghela nafas lalu menghembuskannya, “Thalia, Anty mau bikin pengakuan...”

“Apa, Anty?” tanyaku.

“Anty kayaknya ndak sanggup jadi Mommy Thalia. Jadi Mommy itu berat. Kita kasikan ke Dilan aja..” Anty Luna tertawa sendiri dengan leluconnya yang kuanggap tidak lucu itu. Emang Dilan itu siapa?! Melihat pandanganku, dia berhenti tertawa. Mukanya terlihat malu. “Jadi... maksud Anty... biarpun nanti Anty menikah dengan Daddymu... Thalia boleh tetap manggil Anty. Soalnya kalo jadi Mommy itu kan... Ndak boleh marah kalo Thalia nakal, ndak boleh nyuruh beresin kamar..”

Aku kaget. Anty Luna tau dari mana perkataannya Helen kemaren?!

Daddy mengetuk pintu kamar, “Sudah mau pulang?” tanyanya sambil menunjuk arloji di tangannya. Anty Luna mengangguk. Daddy masuk ke kamarku, memberikan ciuman selamat malam di keningku, lalu berkata, “Daddy antarin Anty pulang dulu ya, Thalia Darling..”

Aku mengangguk. Menarik selimutku, dan mencoba tidur. Masih bingung dengan perkataannya Anty yang belum selesai tadi...

#TaniaLuna
#ThaliaPutriSadewa

JAM TANGAN PRINCESS SOFIA (4).

Beberapa hari yang lalu, Helen menunjukkan jam tangan barunya padaku. 

“Lihat nih, dikasi Papi,” katanya padaku.

“Wuah, bagusnya. Jam tangan Princess Sofia!!” kataku iri. Keren sekali jam tangannya.

“Kamu suka?” tanya Helen.

“Aku suka bangetttttttt,” kataku cepat, bersemangat.

Helen melepaskan jam tangannya, lalu memberikannya padaku. “Ini, buat kamu. Aku ngak suka gambar dan warnanya,” kata Helen.

“Emang boleh?” tanyaku, ragu.

“Ya boleh laaah! Ini kan punyaku. Lagian kemarin kan kamu juga kasi aku boneka Princess Elsa-mu. Aku ngak suka Sofia,” kata Helen lagi. Aku menerimanya dengan senang hati.

Itu sudah kejadian beberapa hari yang lalu...

Aku masih memikirkan perkataan Anty Luna waktu itu. Terus terang, waktu Anty Luna bilang aku ngak usah panggil dia Mommy, diam-diam ada rasa lega di dalam hatiku. Biarpun aku ingin punya Mommy, tapi aku mulai meragukan kalau Anty Luna bisa jadi Mommyku. Dia baik sih. Cuma ya itu… Jauh dari gambaran idealku tentang “Ibu yang Sempurna”. Dia ngak bisa masak, ngak bisa nyanyi, ngak bisa main musik, ngak bisa iketin rambutku…

“Thalia Putrisadewa.” Suara Bu Guru memanggil namaku. Aku mengangkat jari telunjukku. “Ayo, kita ke kantor guru, Nak. Papamu sudah dihubungi oleh pihak sekolah juga, dan sebentar lagi akan datang…”

Ada apa? Tiba-tiba aku merasa takut. Tak pernah aku dipanggil seperti ini…
Dan di sinilah aku. Di kantor guru. Menjadi tertuduh.

Suara pintu kantor guru diketuk, dan Anty Luna muncul di hadapanku. “Pagi, Bu, saya Luna, walinya Thalia. Papanya sedang ada sidang yang tidak bisa ditinggalkan, jadi saya yang mewakilinya,” kata Anty Luna.

“Begini, Bu Luna. Ini Papanya Helen. Katanya, Thalia mengambil jam tangan Helen tanpa ijin…” Bu Guru membuka pembicaraan.

Aku menatap Helen dengan marah. “Dia yang memberikannya padaku!” Aku membantah sambil menangis. Helen diam tak bicara. Wajahnya tampak pucat ketakutan. Anty Luna menatapku.

“Jam apa ya?” tanyanya.

“Jam Princess Sofia warna ungu yang beberapa hari lalu diberikan oleh Helen, Anty,” aku menjawab pelan. “Masih ada di dalam tas sekolahku,” lanjutku.

“Bisa tolong bawa ke sini, Thalia?” tanya Anty Luna. Aku mengangguk, kembali ke kelasku, dan mengambil jam tangan Helen itu, lalu menyerahkannya ke Anty Luna.

Anty Luna menerima jam tangan itu, melihatnya sejenak, lalu menyodorkannya kepada Papanya Helen...

#TaniaLuna
#ThaliaPutriSadewa

MOMMYKU, LUNA (5).

Anty Luna menerima jam tangan itu, melihatnya sejenak, lalu menyodorkannya kepada Papanya Helen. 

“Saya tidak tahu apa yang dikatakan Helen tentang jam ini pada Bapak, tetapi saya percaya kata-kata Thalia bahwa Helen MEMANG memberikan jam ini padanya. Saya yakin baik Helen ataupun Thalia, sama sekali tidak tahu kalau jam tangan ini adalah barang mahal. Bukankah sudah biasa, anak-anak saling memberikan sesuatu pada temannya?”

Aku menatap Anty Luna. Tak menyangka dia akan percaya padaku...

“Tapi Helen bilang dia tidak memberikannya pada Thalia. Jam itu harganya Rp. 700 ribu dan baru beberapa hari saya belikan untuk dia,” kata Papa Helen.

“Sekali lagi, Pak. Saya ulangi. Saya percaya pada kata-kata Thalia. Dan saya yakin, Thalia Putrisadewa, tidak akan pernah mencuri barang orang lain. Saya juga tidak menuduh Helen membohongi anda, tetapi melihat dari cara anda bicara, saya dapat mengerti jika Helen terlalu takut untuk mengakui pada anda bahwa dia memberikan jam ini pada Thalia,” Anty Luna bicara dengan nada pelan dan datar.

“Ini jam tangannya sudah saya kembalikan. Saat ini saya tidak punya bukti untuk membela Thalia. Tapi jika nanti suatu hari Helen cukup berani untuk bercerita,” Anty Luna tersenyum pada Helen, “jika dia menyadari bahwa rasa takutnya telah membuat temannya dituduh sebagai pencuri, saya harap kita bisa bertemu kembali di tempat ini, dan anda, Bapaknya Helen, cukup berani untuk meminta maaf pada puteri saya ini.”

Air mataku tumpah. Anty Luna menyebutku “putri saya”. Aku menghambur dan memeluk Anty Luna.

“Sssttt. Tidak apa-apa, Thalia,” Anty mengelus kepalaku. “Saya ijin bawa putri saya pulang dulu ya, Bu. Kukira masalah ini bisa dianggap selesai kan, Bapak Helen?” Papa Helen mengangguk. Bu Guru juga mengangguk. Anty Luna menemaniku ke kelas dan mengambil tas sekolahku. Aku masih menangis, dan menggenggam kuat-kuat tangannya.

Anty Luna kemudian mengajakku ke Shirokuma Café di Grand Indonesia dan memesan semangkok besar ice cream buatku. Tidak sekalipun dia bertanya lagi tentang jam tangan itu. Dia hanya diam-diam duduk di sebelahku, sambil ikutan makan ice cream di mangkok besar itu.

“Terima kasih sudah percaya padaku…. Mommy…” Aku berkata lirih.

“Eh?!” Anty Luna.. ah.. bukan.. Mommy tampak kaget mendengar kata-kataku.

“Aku… boleh panggil Mommy?” tanyaku pelan. Aku takut dia menolaknya. Aku takut dia keberatan kupanggil Mommy. Aku takut dia ngak mau jadi Mommyku. Kemarin dia sudah bilang padaku, kalau jadi Mommyku itu berat...

Tapi lalu kulihat dia menggigit bibirnya, susah payah menahan air matanya yang jatuh di pipi, lalu memelukku. “Tentu saja, Sayang… Tentu saja…” katanya sambil menangis. Mommyku yang cengeng. Padahal tadi dia begitu gagah menghadapi Papanya Helen. Mommyku, Luna.

THE END.

#TaniaLuna
#ThaliaPutriSadewa

SUMBER:

https://www.facebook.com/tania.limanto2/media_set?set=a.1609959032456968.1073741939.100003286597577&type=3



Selasa, 06 Maret 2018

LUNA AIR (Bagian 72-120 - End)


SADEWA (72).

"Jadi kamu pembela laki-laki bejat itu?" Saya menoleh ketika mendengar suara seorang perempuan yang sangat kukenal. Suara yang penuh emosi kemarahan.

Saya baru saja selesai memantau advokat junior bimbingan saya saat mewawancarai Karno - seorang lelaki paruh baya yang semalam ditangkap dengan tuduhan yang sangat serius. Penganiayaan dan pemerkosaan anak di bawah umur. Setiap case memang macam-macam saja tantangannya, tidak kecuali case pro bono (baca: pendampingan untuk orang yang tidak mampu). Saya ingin setiap advokat junior yang saya bimbing selalu siap memberikan pelayanan profesionalnya bagi masyarakat yang tidak mampu, tanpa biaya.

"Luna? Kamu Luna kan?" sahutku kepada perempuan itu.

Perempuan itu terdiam. Sedikit kaget menatapku. “Sadewa,” Dia menyebut namaku dengan lirih seolah tak percaya.

"Apa kabar?" sapaku mencoba menanggapi dengan kepala dingin sambil mengulurkan tangan untuk berjabat. Dia enggan membalas uluran tangan saya. Raut wajahnya masih tegas menampakkan kekesalannya.

“Apa kau tau apa yang sudah dilakukan oleh pria bejat ini?” tanyanya mengabaikan uluran tanganku sambil menunjuk ke arah Karno.

"Iya. Kantor hukum saya yang diminta oleh penyidik untuk bertugas mendampingi laki-laki yang kau sebut bejat itu, Luna", lanjut saya menjelaskan. "Bukankah sebejat apa pun manusia yang melakukan kejahatan, atas nama kemanusiaan tetap memiliki hak untuk didampingi advokat saat berhadapan dengan hukum?" tanyaku kemudian. 

"Saya anggap kamu tahu, kasus Karno oleh undang-undang mewajibkan Penyidik untuk menunjuk Advokat bagi Karno, jika tidak maka proses hukumnya akan dianggap tidak sah dan dapat dibatalkan," lebih lanjut saya menjelaskan kepadanya. "Kamu tentu tidak ingin itu terjadi bukan?" kataku kemudian. 

Luna terdiam. Sejurus air wajahnya yang kesal nampak mereda. Sepertinya dia mulai sadar kalau menyalahkan saya bukanlah hal yang tepat untuk dia lakukan saat ini.

Bertemu lagi dengan Luna hari ini membawa ingatanku kembali pada peristiwa beberapa tahun lalu. Saat saya dan Luna sama-sama kuliah di Amerika...

~Ditulis oleh Jey Andaru, dengan sedikit editing oleh TaLun.

#TaniaLuna

DEJAVU (73).
Luna. Perempuan itu tidak berubah sedikit pun. Masih seperti Luna yang saya kenal beberapa tahun yang lalu. Sosok Luna sebagai mahasiswa idealis yang sedang menimba ilmu di negeri orang. Idealis bagiku identik dengan keberanian mengutarakan isi hati dan kepala secara lugas langsung kepada orang yang dituju.
"Sorry Sa. Aku nggak bisa. Kau boleh saja terkenal di antara teman-teman setanah air di sini. Tapi aku ngak bisa mengikuti gaya hidupmu."
Kalimat itu yang saya dengar dari Luna pada pertemuan terakhir. Dia kemudian menghilang dari hidupku. Namun ekspresi wajahnya hari ini persis seperti ekspresi wajahnya dalam pertemuan terakhir itu.
"Saya mengerti. Tapi kenapa harus kamu yang belain bajingan ini? Sorry ya, Sa. Aku kebawa emosi. Perbuatan laki-laki bejat itu kepada anak sekecil Dita sudah keterlaluan," sahut Luna, membuyarkan lamunanku. Tampaknya dia khawatir, saya akan mampu membebaskan Karno dari dakwaan ini…
“Ah. Kamu takut kalau saya mampu membebaskannya?” Aku langsung melemparkan pikiran itu padanya sambil tersenyum kecil.
Dia merengut. “Kamu kan cerdas, Sa! Tapi aku ngak akan memaafkanmu kalau sampai Karno bisa bebas karena kau belain!”
Eh. Luna masih memanggil saya dengan nama kecil saya? Hanya tiga orang perempuan yang memanggil saya dengan panggilan “Sa”.
"Ah, Luna. Kamu kan tahu kalau saya selalu bekerja secara profesional. Kamu pastikan saja semua bukti yang kau perlukan sudah kau dapatkan. Hasilnya kita serahkan kepada pengadilan. I won't take it personal. By the way, Saya harus ke Pengadilan sekarang. Ada klien lain yang sudah menunggu. So, I must have your contact. Saya tidak ingin kehilangan jejakmu lagi. May I?"
Kalimat terakhir saya kepada Luna benar-benar datang dari hati. Saya tidak ingin kehilangan kontak dengannya lagi. No. Absolutely not.
~Ditulis oleh Jey Andaru dengan editing.

SA (74).

Sadewa. Pengacaranya Karno. Ingatanku langsung melayang ke masa lalu. Sadewa, anak seorang pengusaha tambang di Kalimantan, datang ke Amerika hanya sekedar untuk bersenang-senang, sambil melanjutkan S2-nya di sana, di bidang hukum. 

Iya, kukatakan bersenang-senang, sebab di sana dia lebih banyak mainnya daripada seriusnya. Beruntung dia dikarunia otak encer yang membuatnya bisa lulus tepat pada waktunya.

Pertemuanku dengannya diawali dengan seorang sahabat yang waktu itu meminta tolong padaku untuk bicara padanya. Mereka pacaran selama dua bulanan, dan tiba-tiba Sadewa tidak ingin lagi bicara dengannya. Semua telpon dan SMS-nya diabaikan. Jadi si sahabat datang ke aku. Minta tolong untuk menemui si songong itu. 

Duh. Kalo ikutin kata hati, tuh sahabat sudah aku tabok. Laki kayak si Sadewa itu, ngapain ditangisin? Kalo dia mau pergi, just say bye-bye. As simple as that. Lagian sahabat aku itu, cantiknya kemana-mana. Anak orang kaya juga. Ngak kayak aku yang kuliahnya ngirit pakai beasiswa. Cuman karena aku numpang di apartemennya, mau ngak mau lah aku harus “jalan” melakukan kemauan sang ratu.

Jadi aku temuilah si Sadewa itu. Benar2 kayak Dewa gayanya. Contoh pribadi cuek dan sinis yang tercampur sempurna dalam satu orang. 

"Oh... Jadi kamu dayang yang diutus untuk urusan tetek bengek Sang Ratu? Saya tidak ada urusan denganmu," katanya dingin dan puluhan kalimat sinis satu per satu memenuhi telingaku kemudian. Gila! Dia tidak menghardik namun kata-katanya menusuk tepat di jantungku. Sampai akhirnya Sadewa berkata, "Dibayar berapa kamu untuk tugas ini? Saya gandakan!" 
Sontak segelas minuman kutumpahkan ke wajahnya di hadapan teman-temannya. 

“Jangan pernah kau mengukurku dengan uangmu,” kataku marah. Tersinggung karena merasa ada sedikit kebenaran dalam kata2nya. Kalau saja bukan Shella, tentu aku ngak akan ada di sini. “Dan satu lagi, kalau memang tidak suka sama Shella, kau harusnya cukup jantan dan ngomong baik-baik sama dia, dan bukannya malah menghindar dan bersembunyi seperti tikus got yang ketakutan begini!”

Lalu aku pergi. Cowok kayak gitu, tak habis heranku bisa sampai bikin Shella tergila-gila.

#TaniaLuna and Jey

PRIVACY (75).

“Kok kamu pulang kebih cepat?” Yudhis bertanya ketika datang ke apartemenku. 

“Iya. Ada telepon dari Kayang kalau Dita dapat masalah…” kataku menjawab pertanyaannya. Tidak berbohong.. Tapi juga tidak jujur. Ah.

Kadang aku sering bertanya pada diriku sendiri, mengapa banyak hal tidak kuceritakan pada Yudhis. Tidak tentang akun Luna Air-ku. Tidak juga tentang kejadian dengan Gerhana kemarin. Tidak juga tentang Sadewa. Kenapa? Karena aku takut Yudhis marah lalu pergi? Karena aku takut dia menghakimiku dengan itu?

“Karena kau butuh privacy!” ucapku pada diriku sendiri, membuat pembenaran bagi pikiran2 liarku. 

“Dita sudah ketemu?” tanya Yudhis.

“Iya, sudah. Kemarin aku ke kantor polisi…” Lalu dengan singkat kuceritakan kasus Dita pada Yudhis.

“Kasihan anak itu. Lalu sekarang dia bagaimana?” 

“Tinggal sama ibunya,” jawabku. 

Aku mendekat dan duduk di samping Yudhis. Membuka HP-ku dan memperlihatkan foto2 pernikahan adiknya Gege kepada Yudhis. “Ini adiknya yang nikah itu,” kataku. 

“Lalu yang undang kamu mana?’ tanya Yudhis.

“Aku ngak ambil fotonya,” jawabku, agak terlalu cepat. 

Yudhis mengeryitkan alisnya. “Ada apa, Luna? Ada sesuatu yang terjadi?” tanyanya, menangkap nada tidak suka dalam kalimatku tadi. 

“Tidak apa-apa.” Aku menutup kata-kataku. Tak ingin lagi mengingat tentang ciuman Gerhana kemarin. Dia kira aku ini siapa? Dia kira dia siapa? Salahku terlalu percaya padanya. Aku menggigit bibirku. Bertanya-tanya.. Mengapa bekas bibirnya masih terasa hangat di bibirku?

#TaniaLuna

BUKTI (76).

“Tidak ada apa-apa?” Nada suara Yudhis berubah.

Aku menatapnya dengan perasaan gamang, “Hmm.. Dia…”

Yudhis membalas tatapanku, “…. Aku menunggu, Luna.”

“Dia…”

“Kau bercinta dengannya, di kamar hotel itu??!” tanya Yudhis, langsung mengarahkan telunjuknya padaku. Aku kaget. Terdiam.

“Kau tidak mau bercinta denganku, dengan segala macam alasan yang kau buat-buat. Tapi ternyata di sana kau malah selingkuh dan bercinta dengan Gege?!”

“Aku tidak bercinta dengannya!!!!” Aku membantah, setengah berteriak, shock mendengar tuduhan Yudhis. 

“Lalu apa yang kau sembunyikan? Bagaimana aku bisa percaya, Luna? Bagaimana aku bisa percaya kalau kau tidak bercinta dengannya?!!”

Aku terdiam. Lidahku kelu. Air mataku jatuh satu-satu. Dadaku sesak. Mungkin seperti ini perasaan Shinta yang melompat ke bara api untuk membuktikan kesuciannya kepada Rama. Tapi aku bukan Shinta. Jika aku melompat ke bara api, aku akan terbakar mati. 

“Aku tidak menuntut kalau kau harus perawan untuk menikah denganku, Luna. Tidak sama sekali. Tapi setidaknya, cobalah untuk setia, karena statusmu saat ini adalah kekasihku, calon istriku.”

Sakit sekali hatiku mendengar kata-katanya. Bisa saja aku meminta Gege datang dan menjelaskan kejadiannya pada Yudhis. Tapi apa Yudhis akan percaya? Dan apa Gege akan menceritakan hal yang sebenarnya pada Yudhis? “Aku hanya mencium Luna,” kubayangkan Gege berkata seperti itu pada Yudhis. Kata-kata yang sama sekali tidak membantu.

Air mataku jatuh. Aku terisak. Aku marah. Kecewa. Terluka oleh tuduhan itu. Sialan. Aku selalu membenci air mataku yang jatuh kalau aku marah. Karena aku tahu, Yudhis telah menangkapnya sebagai sebuah pengakuan. 

“Aku tidak bisa membuktikan apapun padamu, Yudhis. Dan kalaupun bisa, aku tak akan melakukannya,” kata2ku akhirnya keluar bersama air mata kemarahanku. 

Yudhis menatapku dengan sedikit jijik, membuang muka, lalu pergi.

#TaniaLuna
 MATA-MATA (77).

Sudah beberapa hari sejak Yudhis pergi dengan amarah dan tuduhannya. Aku berusaha mengabaikan masalahku dengan Yudhis, karena kasus Dita membutuhkan konsentrasi lebih. Saat ini bukan waktunya mengasihani diri sendiri. “Putus cinta hanya masalah kecil bagi Luna,” kuucapkan itu 10x di depan cermin, sebelum berangkat ke kantor polisi untuk memenuhi panggilan pemeriksaan.

"Ibu baca dulu berita acara yang kami buat, apabila telah sesuai dengan keterangan ibu, mohon ibu paraf di bagian bawah setiap halamannya dan ditanda tangani pada halaman terakhir..." kata Penyidik setelah sekitar satu jam aku menjawab pertanyaan demi pertanyaan sebagai saksi kebejatan Karno terhadap Dita.

Aku pun membaca dengan teliti kata per kata dalam berita acara itu. Aku tidak mau memberikan celah sedikit pun untuk Karno hingga dapat melemahkan pembuktian perbuatannya.

Baru saja aku hendak meninggalkan halaman parkir, ketika handphoneku berbunyi. Sebuah nomor tak dikenal berkedip memanggil.

“Hallo.”

"Hi, Pejuang Keadilan. Bagaimana proses pemeriksaanmu hari ini. Seru bukan?"

Suara itu.. Sadewa? Kenapa dia bisa tahu aku diperiksa hari ini?

"Kok kamu tahu jadwal pemeriksaanku hari ini? Kamu mata-matain aku ya?" balasku.

"Come on, Lady. Kamu ada di dunia saya. Tidak perlu menjadi mata-mata untuk informasi seperti itu,” jawabnya.

"Awas ya Sa, kalau Karno sampai bebas karena kamu belain!"

"Advokat tidak bertugas untuk membebaskan penjahat.”

“Lho. Kukira kedudukanmu dalam kasus ini adalah sebagai “pembela” Karno?” tangkisku.

“Sepertinya kita mesti bertemu. Banyak informasi yang keliru tentang kami di kepalamu. What do you say?"

Aku tertawa mendengar kata2nya. “Halah. Bilang saja kamu mau bikin janji kencan denganku,” jawabku mengusilinya.
Dia tertawa. “Tidak, Luna. Tapi kalau kau mengharapkannya, ya kuiyakan saja.”

Sialan. Pinter ngomong dia. Makanya jadi pengacara. Aku ngedumel dalam hati.

“Tidak, Sa. Saat ini posisi kita berseberangan. Aku tidak mau integritasmu dipertanyakan karena janji kencan denganku,” jawabku menutup pembicaraan.

Skak mat. 

~Jey Andaru and 
#TaniaLuna

LIDYA (78).

Sebulan sejak komunikasi terakhir dengan Luna, saya tidak pernah lagi menghubunginya. Berkas perkara Karno sudah sampai di Kejaksaan setelah dinyatakan P-21 tiga hari yang lalu.

Saya ngak pernah menyangka, pertemuan pertama dengan Luna yang penuh drama itu begitu melekat di benakku. Di kemudian hari saya baru tahu kalau dia menumpang secara gratis di apartemen Shella. Dan dalam banyak hal, terutama masalah keuangan, dia selalu di bantu oleh Shella. Saya juga tahu alasan Shella menawarkan apartemennya untuk Luna. Dia membutuhkan Luna untuk membantunya mengerjakan tugas-tugas kuliahnya. Bisa dibilang, hubungan mereka berdua adalah hubungan simbiosis mutualisme. 

Setelah tahu siapa Luna, saya jadi mengerti mengapa dia begitu marah ketika kusinggung tentang bayaran yang dia terima untuk datang padaku. Soal uang, menjadi masalah sensitif baginya yang saat itu harus hidup sendiri dengan uang beasiswa yang hanya secukupnya itu.

Setelah kejadian itu, saya datang menemui Shella dan menjelaskan alasan keinginanku untuk putus dengannya. Shella menangis tersedu sedan waktu itu. Memohon agar aku tidak meninggalkannya. Bersedia berubah sesuai keinginanku. Ah. 

Lalu saya menemui Luna, dan meminta maaf atas kata-kataku saat itu padanya. (Sungguh saya tidak tahu kalau dia benar-benar dayang Shella). Kata-kata yang dalam kurung itu tidak kuucapkan padanya. Tentu saja tidak. Saya belum segila itu. 

Banyak yang telah terjadi pada hidup saya sepeninggal Luna. Segera setelah studi selesai saya pulang ke tanah air dan membangun kantor hukum mulai dari nol hingga kini dipercaya banyak klien besar. Law Firm Sadewa & Partner menyita hampir semua waktu saya. Saya mulai merubah diri dari lelaki yang dibuai oleh fasilitas orang tua menjadi lelaki yang lebih bertanggung jawab dan menikmati hasil usaha sendiri.

Saya pun menikahi Lidya, rekan seprofesi saya. Pernikahan kami dikaruniai seorang anak perempuan yang kini telah berusia enam tahun. Saya memberinya nama Thalia. Sedang Lidya, terpaksa harus meninggalkan kami beberapa bulan setelah operasi cesar untuk menghadirkan Thalia ke dalam hidup kami karena infeksi kanker serviks yang terdeteksi di akhir kehamilannya. 

~Ditulis oleh 
#JeyAndaru, diedit oleh #TaniaLuna

SIDANG (79).

Hari ini sidang pertama kasus Om Karno digelar. Pukul Sembilan tepat aku sudah berada di kantor Pengadilan. 

Dari layar jadwal sidang, aku memperoleh kepastian perkara pidana atas nama Karno Irwanto bin Rojali benar akan digelar hari ini.

Beberapa jam kemudian aku melihat Om Karno digelandang oleh Petugas dari ruangan sel menuju ruang sidang dengan tangan terborgol. Sebelum masuk ke ruang sidang, borgol ditangan Om Karno dilepaskan oleh Petugas. Aku pun ikut masuk, duduk di kursi pengunjung sidang.

"Majelis Hakim akan memasuki ruang sidang, hadirin dimohon berdiri", demikian diumumkan oleh Panitera Pengganti.

Di belakang meja sebelah kanan depan meja Majelis Hakim aku melihat dua orang Jaksa mengenakan toga warna hitam. Sedangkan di kursi pengunjung ada seorang pria yang juga mengenakan toga hitam yang nampak sama dengan toga para Jaksa.

Ketua Majelis Hakim membuka sidang lalu memerintahkan agar Jaksa menghadirkan terdakwa di persidangan. Om Karno kemudian duduk di kursi terdakwa di hadapan Majelis Hakim.

"Apakah saudara didampingi Penasihat Hukum?" tanya Ketua Majelis Hakim kepada Om Karno setelah menanyakan identitas lengkap om Karno dan status penahanannya. Om Karno menunjuk pria bertoga hitam itu. Pria itu pun dipersilahkan duduk di belakang meja sebelah kiri depan meja Majelis Hakim. Pria itu kemudian menunjukan Surat Kuasa Khusus dan menjelaskan bahwa pendampingan terhadap Om Karno dilaksanakan dengan menggunakan anggaran program bantuan hukum dari Kementrian Hukum dan HAM bagi warga yang tidak mampu.

Aku bertanya-tanya kenapa Sadewa tidak menghadiri sidang. Apakah Sadewa telah melepaskan kasus Om Karno? Lalu siapa pria yang duduk di kursi penasihat hukum itu?

"Oleh karena perkara ini menyangkut kesusilaan maka persidangan dinyatakan tertutup untuk umum,” kata Ketua Majelis Hakim setelah Jaksa selesai membacakan surat dakwaan. "Tok!" suara palu sidang membuyarkan lamunanku. Aku pun diarahkan keluar dari ruangan sidang oleh petugas. 

"Sadewa kemana?" Aku masih bertanya-tanya dalam hati. Mataku menyapu setiap sudut ruang sidang dan tidak menemukannya...

~Ditulis oleh 
#JeyAndaru.

#TaniaLuna

RINDU ITU BERNAMA LUNA (80).

Luna? Setengah tidak percaya saya melihat nama yang muncul di layar hape. 

Kutunggu sampai bunyi ke-3 sebelum mengangkatnya, “Hallo.”

"Hari ini Om Karno disidang. Kamu kok tidak dampingi. Lari dari tanggung jawab?" 

“Ini dari siapa, cari siapa?” tanyaku, sengaja.

“Sa. Ini Luna!” Ada nada kesal dalam suaranya, ketika merasa saya tidak mengenalinya. Haha. Gotcha. 

"Saya sedang mendampingi klien di Singapura. Saya sudah tugaskan junior saya untuk itu. Kenapa kamu tanyakan itu, Luna. Miss me?” tanyaku sambil menahan senyum gembiraku. 

"Dih. You wish! Aku di pengadilan sekarang. Sudah kubilang kan. Aku akan terus memantau kasus Om Karno ini. Untuk Dita"

"Wah, hebat juga kamu sampai tahu jadwal sidang pertama Om Karno. Saksi hanya dipanggil di hari akan memberikan keterangan saja. Hari sidang pertama biasanya tidak langsung memeriksa saksi".

"Ini juga sudah jadi duniaku, Sa. Bukan kamu saja yang bisa dapat informasi itu.” tangkisnya, mengembalikan kata-kataku dulu padanya. Saya tertawa.

"Wah, saya terancam tidak laku lagi kalau kamu juga ikut menjadi Lawyer, Luna.”

"Tentu saja, Sa. Hati-hatilah kau. Orang pasti akan lebih percaya aku, ketimbang playboy macam kamu!” Saya bayangkan saat mengucapkan itu bibirnya pasti mencibiri saya.

"What? Playboy-mu ini sekarang sudah jinak. Mau coba?” tantangku. Sengaja menambahkan kata “mu” di belakang kata playboy yang dia sematkan padaku.

"Ogah!" 

"Haha! Ok, Dear. See you when we see. Saya masih ribet sekarang. Selamat berjuang. Thanks for calling me. What a nice conversation".

Saya kemudian kembali fokus meneliti diktum-diktum perjanjian yang harus ditandatangani oleh klien saya. Percakapan dengan Luna di telepon barusan membuat saya merasa hangat. Persis seperti dulu. Apakah saya mulai merindukan masa-masa itu?

~Ditulis oleh 
#JeyAndaru, diedit oleh #TaniaLuna
MEET THE JUDGES (81).

Hari ini saya, Dita, Ibu Dita dan Pak RT telah menunggu di ruang Jaksa yang ada di gedung pengadilan. Menunggu giliran memberikan kesaksian dalam sidang perkara Om Karno. Setelah beberapa jam kemudian kami pun dipanggil masuk ke dalam ruang sidang. Kami dipersilahkan duduk di hadapan Majelis Hakim. Di sebelah kiri kami duduk dua orang Jaksa yang sama ketika sidang pertama, dan Sadewa duduk di sebelah kanan kami, di samping Om Karno.

Majelis Hakim pun mulai menanyakan identitas kami satu per satu dan apakah ada hubungan keluarga atau pekerjaan dengan Om Karno. Saya, ibu Dita dan Pak RT kemudian bersumpah/ berjanji akan memberikan keterangan yang benar dengan cara yang sesuai dengan tata cara agama kami masing-masing, kecuali Dita, karena Dita belum berumur 15 tahun.

"Saudara Penuntut Umum, apakah para saksi akan saudara ajukan untuk diperiksa secara bersama-sama atau sendiri-sendiri?" kata Ketua Majelis kepada Jaksa.

"Untuk menyingkat waktu, jika berkenan agar saksi diperiksa secara bersama-sama," jawab Jaksa.

"Bagaimana pendapat Terdakwa atau Penasihat Hukum Terdakwa," tanya Ketua Majelis kepada Om Karno dan Sadewa.

"Demi objektifitas kebenaran materil yang kita cari dalam persidangan ini, kami menyarankan agar saksi diperiksa sendiri-sendiri. Kecuali anak korban dengan didampingi ibunya atau orang yang dia percaya. Demikian pendapat kami Yang Mulia,” jawab Sadewa.

Majelis Hakim kemudian memerintahkan saya dan Pak RT menunggu di luar ruangan sidang sembari menetapkan agar peserta sidang melepaskan toga dan atribut lembaga masing-masing. 

Sebelum keluar saya memeluk Dita. Ia nampak kebingungan.

"Ceritakan semua yang kamu rasakan. Jangan takut,” bisikku di telinga Dita. Ia mengangguk pelan sambil menggenggam tanganku. Tangan Dita, jemari mungil itu terasa dingin. Dingin sekali. Tubuhnya menggigil. 

Tidak beberapa lama setelah aku keluar dari ruangan sidang, Dita kemudian dibawa keluar pula diikuti oleh Ibunya.

"Dita mau dibawa kemana, Pak?" aku bertanya kepada petugas.

"Tadi Dita nampak ketakutan melihat Terdakwa. Majelis Hakim memutuskan agar Dita memberi keterangan di ruang teleconference, Ibu Luna diminta menemani Dita di sana. Di depan Majelis Hakim Dita mencari Ibu Luna. Mari Bu, saya antar..." ajak Petugas itu.

Saya dan Dita dibawa ke sebuah ruangan yang terletak tidak jauh dari ruang sidang. Di dalam ruangan itu ada sebuah kamera, microphone dan pengeras suara serta beberapa aksesoris yang menjadikan ruangan tersebut terkesan ramah anak. Setelah mendapat penjelasan dari Petugas, saya membujuk Dita agar nanti menjawab pertanyaan yang didengarnya dari pengeras suara.

Dita berhasil menyelesaikan sesi tanya jawab itu dengan baik. Ia menjawab semua pertanyaan dengan lancar, walau awalnya ia nampak tertekan saat menceritakan perbuatan Om Karno kepadanya. Dita tidak sanggup menceritakan kejadian itu secara detil. Majelis Hakim pun melarang Jaksa dan Sadewa mengajukan pertanyaan yang membuat trauma Dita semakin parah.

Saya memeluk Dita, erat. Dita kemudian menangis. Tak mau melepaskan pelukanku.

Saya bisa menangkap kemarahan dan dendam Karno saat menatap padaku dan ibunya Dita saat kami masuk ke ruang sidang tadi.

Mungkinkah ini yang membuat banyak ibu memilih untuk tidak menuntut pemerkosa anaknya? Semua proses sidang ini, begitu traumatik. Membayangkan kembali semua kejadian itu... Menceritakannya kembali... Dan ancaman yang akan didapat saat sang terdakwa keluar dari penjara...

Ditulis oleh 
#JeyAndaru, diedit oleh #TaniaLuna

#LunaAir

MEET THE JUDGES (82).

Sidang telah berlangsung selama beberapa jam. Setelah ibu Dita selesai diperiksa, tiba giliranku untuk memberikan kesaksian. 

Petugas memanggilku masuk ke ruangan sidang, lalu mengantarku hingga ke pintu ruang sidang yang tertutup. Pintu dibuka, aku berjalan menuju kursi pemeriksaan di hadapan Majelis Hakim. Ada ketegangan yang aneh kali ini. Tidak seperti saat pertama kali duduk di kursi saksi bersama dengan Dita, Ibu Dita dan Pak RT. Aku menarik nafas panjang dan menghela dengan pelan untuk menenangkan diri. Ujung mataku melihat Sadewa duduk di sana membuyarkan seluruh usahaku untuk menenangkan diri. Suasana menjadi semakin tegang bagiku.

"Saudari Saksi, terimakasih telah datang menghadiri panggilan sidang. Kehadiran Anda telah membantu negara dalam proses pemeriksaan perkara ini," kata Ketua Majelis memecah kegamanganku.

"Iya Pak," jawabku.

"Apakah Anda mengerti saat ini Anda akan memberikan kesaksian dalam perkara apa?"

"Mengerti, Pak. Saya saksi atas perbuatan kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh Karno terhadap Dita dan Ibunya serta kekerasan seksual yang juga dilakukan Karno kepada Dita".

"Kapan dan di mana perisitiwa itu terjadi?"

Aku kemudian menceritakan segala yang kutahu sedetail mungkin dan menjawab pertanyaan demi pertanyaan dari Majelis Hakim mulai dari peristiwa awal bertemu Dita sampai kejadian terakhir hingga membawa Om Karno ke dalam proses hukum. 

Ketua Majelis Hakim kemudian mempersilahkan Jaksa bertanya.

"Apakah menurut pendapat Saksi, Terdakwa telah sering melakukan kekerasan terhadap Dita dan Ibunya selain dua peristiwa yang telah Anda jelaskan tadi?". 

Belum sempat aku menjawab pertanyaan itu, terdengar suara Sadewa.

"Keberatan Yang Mulia. Pertanyaan Jaksa yang meminta pendapat Saksi berpotensi melanggar hukum acara. Saksi bukan Ahli yang dapat ditanyakan pendapatnya melainkan apa yang Saksi lihat, dengar dan rasakan sendiri terkait dengan materi pokok perkara".

Terjadi adu argumentasi antara Sadewa dengan Jaksa yang kemudian disudahi oleh Ketua Majelis Hakim.

"Saudara Penuntut Umum, silahkan Anda mengganti frasa pertanyaan yang anda gunakan sebatas menggali pengetahuan Saksi sesuai dengan kapasitasnya sebagai saksi fakta".

Aku mulai kesal dengan tingkah Sadewa. Mengapa dia tidak memberikanku kesempatan untuk menjawab pertanyaan itu? Aku bisa meyakinkan Majelis Hakim bahwa Om Karno memang sering melakukan tindakan pelecehan itu terhadap Dita, sehingga akhirnya mereka memutuskan untuk pindah rumah!

Jaksa mengajukan pertanyaan demi pertanyaan kepadaku hingga ia menyatakan cukup dan kemudian Ketua Majelis Hakim mempersilahkan Sadewa mengajukan pertanyaan.

"Baik. Tadi Anda telah menceritakan dua peristiwa. Pertanyaan saya adalah saat peristiwa itu terjadi, apakah Anda berada di tempat kejadian?"

"Tidak. Saya diceritakan oleh Dita dan Ibu Dita."

"Saya pertegas. Jawab Ya atau Tidak. Artinya anda mengetahui peristiwa-peristiwa itu hanya dari cerita orang lain?"

"Iya. Tapi..."

"Cukup dari kami Yang Mulia. Mohon dicatat, kesaksian saudari Luna tentang suatu peristiwa yang tidak, saya ulangi, peristiwa yang tidak ia lihat dan rasakan sendiri,” pungkas Sadewa memotong keteranganku.

Grrrhh... Sadewa benar-benar membuatku kesal.

"Tapi Yang Mulia, saya mendengar sendiri dan melihat sendiri bagaimana akibat perbuatan laki-laki itu terhadap anak sekecil Dita dan Ibunya,” sontak aku berdiri sambil menunjuk Om Karno.

Tok... Tok... Tok...!! Ketua Majelis Hakim mengetuk palu sidang.

"Saudara Saksi, Anda wajib tetap tenang dan menjaga ketertiban persidangan!" hardik Ketua Majelis Hakim kepadaku.

Aku pun kembali duduk. Berusaha menenangkan diri. Ya. Aku menyadari, kedudukanku sebagai pendengar cerita dari Dita saja tidak akan cukup untuk menjadi saksi yang kuat. Tapi aku berharap, hasil visum yang dibuat segera setelah kejadian itu, akan cukup untuk menjadi bukti tidak terbantahkan bagi kejahatan Karno. 

~Ditulis oleh 
#JeyAndaru, diedit oleh #TaniaLuna

#LunaAir

ICE BREAKER (83).

"Luna. Tunggu!"

Saya bergegas mendekati Luna yang sedang berjalan menuju mobilnya. Wajah Luna terlihat masih menyimpan kekesalan ketika dia berhenti menunggu langkahku tiba di hadapannya.

"Come on, Luna. Apa yang terjadi di ruang sidang biarlah tetap di sana. Jangan kau bawa sampai ke luar sini.”

"Maksud kamu apa sih dengan bertanya seperti itu tadi?"

"That’s my job, Luna. Memastikan hukum acara ditegakkan setegak-tegaknya di ruang sidang. Karena perlindungan hak Terdakwa seluruhnya bertumpu pada tegak atau tidaknya hukum acara.”

"Tapi kan itu pertanyaan menjebak. Menganulir semua pernyataanku selama ini!”

"Sssttt... Sudah Luna, dengan alat bukti yang ada, keterangan Dita, ibu Dita, kamu dan pak RT serta hasil visum, tidak ada satu setan pun yang bisa membebaskan Karno dari dakwaan Jaksa. Hukum kita tidak seanjing itu, Dear. Itu pendapat profesional saya. Kamu berhasil memberikan keadilan kepada Dita dan Ibunya. Selamat!"

Saya mengucapkan kalimat itu setengah berbisik sambil menatap mata Luna yang mulai meneduh. Saya kemudian menarik jari telunjuk saya yang menempel di bibirnya lalu mengulurkan tangan kepadanya. Luna menggenggam tanganku.

“Kamu yakin?” Luna menatapku meminta kepastian.

“Yakin!”

"Benar, ya? No tipu-tipu, ya! Aku ngak mau kalau sampai karena lemahnya kesaksianku, si Karno malah mendapatkan celah untuk membebaskan dirinya!” kata Luna. 

"Siap Boss," jawabku sambil meniru gestur militer memberi hormat. Luna mendelik. 

"Jalan gih. Saya kembali ke dalam. Masih ada sidang perkara berikutnya hari ini. Hati-hati menyetir ya Sayang-nya orang. Kita belum sempat kencan soalnya. Haha!"

“Siap Boss!” Luna mengangkat tangannya, memberi hormat padaku, membalas perbuatanku tadi. Saya tertawa. 

~Ditulis oleh 
#JeyAndaru, diedit oleh #TaniaLuna

#LunaAir

FLASHBACK (84).

“Imlek tahun ini, pulanglah, Na.. Aku tak bisa berjanji untuk tetap menjaga kesetiaanku, jika kau masih keukeuh ndak mau pulang.”

Aku terdiam mendengar suara Nathan di ujung telepon sana.

“Pulanglah, Na. Untuk apa kau tetap di sana? Bukankah kau mencintaiku? Bukankah kau ingin menikah denganku? Semakin lama kau di sana.. kita akan semakin merasa asing satu sama lain.”

“Setinggi apapun kau mengejar karirmu di sana, tempatmu adalah di sini, di sisiku, Na.”

“Pulanglah Luna. Karena aku mulai sulit menjaga hatiku di sini...”

Aku menutup gagang teleponku. Dan masih tetap diam. 

“Pulanglah... Luna... Jika kau masih mencintaiku, dan ingin menikah denganku. Jika kau masih menjadi istriku, Imlek tahun ini, kau harus pulang.”

Imlek ini, aku harus pulang.

.... Haruskah??

~Ditulis untuk mengikuti 
#Challenge dari EnmaBelinda Gunawan

#TaniaLuna
#LunaAir, sisi lain.
#KilasBalik
#EdisiLepas
 BERDERAI (85).

Sebenarnya aku tahu, Yudhis tidak salah jika dia sampai marah seperti itu padaku. Walau aku sangat tersinggung dituduh telah berzinah dengan Gege di kota M, tetapi aku bisa memahami kemarahan Yudhis. 

Sepulang dari pengadilan, setelah bertemu dengan Sa di tempat parkir, aku mengambil handphoneku dan menghubungi Yudhis. Bagaimana pun, harus ada yang mengalah bukan? Dan karena sudah lebih dari dua bulan Yudhis tidak sekalipun menghubungiku, berarti kali ini aku yang harus mengalah. 

Nada dering masuk terdengar lebih dari sembilan kali tanpa diangkat. Mungkin dia sibuk? Mungkin suara hp-nya tak terdengar? Kutunggu beberapa menit sebelum menelpon kembali. Tetap saja hanya nada dering, tanpa diangkat.

Ah. Dia masih marah. Kututup telponku dan menyetir menuju kantor. Ada banyak pekerjaan yang menumpuk karena aku sibuk bolak-balik ke pengadilan untuk kasus Dita. Untung saja Kayang bisa mengerti dan mengoper beberapa pekerjaanku ke rekan yang lain. Pulang kantor nanti akan kutemui Yudhis saja secara langsung, menjelaskan baik-baik padanya, dan minta maaf. 

Pulang kantor, aku langsung membelokkan mobilku ke kafe Yudhis. Saat akan masuk ke dalam kafenya, langkahku terhenti. Di meja ujung sana, meja favoritku, ada Yudhis dan seorang perempuan yang tidak kukenal.

“Jangan berprasangka, Luna. Jangan berprasangka..” Aku mengingatkan diriku sendiri, ketika langkah kakiku ingin mengajakku pergi dari sana dengan rasa kecewa dan amarah yang membuncah.

“Lalu aku harus bagaimana?” tanyaku pada diriku sendiri. Gamang. Pertentangan batinku berakhir ketika salah seorang karyawan Yudhis melihatku dan menyapa, “Mbak Luna.” 

Mendengar namaku disebut, Yudhis menoleh. Dan melihatku berdiri di dekat pintu masuk. Aku masih diam, menunggu reaksi Yudhis. Penantian yang serasa seabad, ketika Yudhis mengalihkan kembali pandangannya, melanjutkan pembicaraannya dengan perempuan itu, seolah-olah dia tak mengenal aku. 

Aku yakin dia melihatku. Aku yakin dia menatapku. Pandangan matanya yang marah dan terluka, tepat menusuk hatiku, sebelum dia mengalihkan wajahnya. Aku ingin masuk ke dalam dan bicara dengannya, tapi kehadiran perempuan itu membuatku mengurungkan niatku. 

Aku menggigit bibirku, sekuat tenaga menahan tangis yang hendak pecah, dan berbalik, setengah berlari meninggalkan tempat itu. 

Apakah aku sudah terlambat untuk memperbaiki semua kesalahpahaman ini??

#TaniaLuna
#LunaAir
RETAK (86).

"Bahkan dengan cermin aku enggan berbagi".
Bait puisi Chairil Anwar itu telah lama menjadi prinsipku. Kesetiaan adalah sesuatu yang mahal, tidak akan kau dapati pada orang yang murahan. Besar harapanku kepada Luna. Ah, tapi keputusannya untuk pergi mengunjungi laki-laki lain di kota asing meluruhkan semua kepercayaanku padanya. Luna bagiku sekarang tidak lebih dari perempuan kebanyakan yang tidak pandai menjaga kesetiaannya.

Hari ini keputusanku sudah bulat walau awalnya sempat gamang ketika Mama menawarkan anak teman arisannya untuk dekat denganku. Mama yang sejak awal menentang, sangat senang mendapati retaknya hubunganku dengan Luna.

"Yudhis, rabu lusa Cintya anak Tante Mira akan datang ke cafe-mu, Nak. Kau baik-baiklah dengannya. Cintya itu baru menyelesaikan kuliahnya di Amerika, sekarang pulang untuk membantu bisnis keluarganya,” kata Mama. “Di sini dia belum banyak teman. Waktu Mama cerita soal kafemu, dia kelihatannya sangat tertarik. Katanya dia ada rencana mau buka kafe juga, tapi sedang cari partner untuk bekerja sama. Dia pintar sekali bikin kue-kue cantik yang lezat,” Mama lanjut mempromosikan Cintya dengan semangat.

Tapi masih ada yang mengganjal di hatiku. Hubunganku dengan Luna belum resmi berakhir. Aku harus pergi menemui Luna. Kami harus selesaikan masalah di antara kami sebelum aku memutuskan membawa perempuan baru ke dalam hidupku.

Berbekal informasi dari kantor Luna, aku menuju pengadilan siang itu. Di parkiran, aku melihat Luna. Dia sedang bicara dengan seorang laki-laki yang tidak aku kenal. Mereka terlihat begitu akrab. Hatiku meradang saat melihat lelaki itu meletakkan jari telunjuk ke bibir Luna. Menunduk ketika berbicara padanya, seolah ingin menciumnya di sana. Aku bisa melihat bagaimana cara pria itu menatap kepadanya. 

Salam perpisahan, yang dilakukan dengan gerakan hormat ala militer dan tawa lepas dari pria itu membuatku yakin bahwa memang ada sesuatu di antara mereka. Itu sebabnyakah... Sehingga selama dua bulan ini Luna sama sekali tidak mencoba menghubungiku? Baginya aku ini hanya sampah yang bisa dia buang kapan saja dia mau?

Kuurungkan niatku menemuinya. Aku pulang dengan hati yang hancur. Lagi. 
Membuka hati kepada Cintya mungkin pilihan yang paling masuk akal saat ini.

Cintya memenuhi janjinya kepada Mama, datang ke kafe pada malam itu. Kehadiran Cintya setelah pemandangan yang memuakkan tadi siang menjadi oase bagiku. Kami berbagi cerita layaknya sudah lama kenal. 

Lalu tiba-tiba Luna muncul di pintu cafe. Untuk apa perempuan itu datang ke sini? Aku tidak akan tertipu lagi olehnya. Aku mengalihkan pandanganku. Mengabaikan Luna. Dan meneruskan pembicaraanku dengan Cintya. Ketika aku kembali mengalihkan pandanganku ke pintu masuk, Luna sudah tak ada lagi di sana. 

~Ditulis oleh 
#JeyAndaru, diedit oleh #TaniaLuna

#LunaAir

WHATEVER YOU WANT (87).

Aku membuka akun FB-ku. Luna Air. Dan mulai menulis. Selalu begitu. Kuhabiskan hampir seluruh waktu luangku untuk menulis, tentang apa saja. Membuang semua emosi dan kesedihanku di nyata ke maya. Kemudian aku memeriksa inboxku. Ada message request. Aku klik foldernya dan sebuah nama asing muncul di sana. 

“Kenapa FB-ku juga kau blokir? Ini aku bikin akun baru. Bicaralah, Luna. Jangan bersikap seperti anak kecil seperti ini. Apa salahku?” Setelah membaca pesannya, aku langsung tahu, ini adalah akun baru Gerhana. 

Ah ya. Aku lupa. Aku memblokir no hp-nya, wa-nya dan juga FB-nya. Dan kini dia datang padaku menggunakan akun baru. Tetapi inboxnya masuk ke kotak lain karena kami tidak berteman. 

“Gara-gara kamu, aku diputuskan oleh Yudhis!!!!!!” balasku kesal. 

“Luna. Buka blokirmu. Please. Whatever you want, Luna. Aku akan melakukan apapun yang kau minta. Tapi lepaskan blokiranmu.” Tidak sampai semenit pesanku dibalas lagi oleh Gege. 

Aku diam. Haruskah kuminta Gege untuk datang ke sini, dan menjelaskannya secara langsung ke Yudhis? Bahwa kami TIDAK melakukan apapun?? (Soal ciuman itu akan kusepakati untuk tidak diceritakan pada Yudhis nanti). 

Karena toh kenyataannya semua masalah ini jadi kacau gara-gara Gege. Jika saja Gege mau datang dan menjelaskannya, mungkin Yudhis akan mau percaya. Aku mencintai Yudhis, dan tidak ingin kehilangan dia hanya karena salah paham yang seperti ini.

“Whatever I want?” tanyaku menegaskan.

“Yes, Luna.”

“Aku mau kamu ke Jakarta dan menjelaskan pada Yudhis bahwa semua tuduhannya padaku tentang kita itu tidak benar.”

Gege diam.

“Bisa?”

Aku menunggu. Lalu balasannya datang, “Ya. Tapi buka dulu blokiran nomor hapeku.” 

#TaniaLuna

#LunaAir

SECRET (88)

Aku terdiam membaca balasan inbox dari Luna. Dia menginginkan aku ke Jakarta, menemui Yudhis, menjelaskan bahwa tidak terjadi apa2 dengan kami berdua selama di sini?

Mengapa pula aku yang harus menemui Yudhis? Mengapa harus aku yang menjelaskan? Menurutku, dalam cinta seharusnya ada kepercayaan. Dan jika kau sudah tak punya itu, sungguh memalukan jika kau masih menyebut rasamu sebagai cinta.

“Whatever you want...” Janji itu telanjur terucap sebelum aku tahu Luna akan meminta aku menemui Yudhis.

Baiklah. Whatever you want, Luna. Aku akan melakukan keinginanmu. Juga pesanmu untuk tidak menceritakan tentang ciuman di kamar hotel itu pada Yudhis. 

Aku ingin tahu, sejauh apa hubungan yang kau sebut cinta ini, yang kau bangun dalam banyak ruang-ruang rahasia.

Aku ingin lihat.. seperti apa Yudhis itu. Apa kelebihannya dibandingkan aku? Hartanya kah, Luna? Jika memang itu.. Aku mengaku kalah. 

#TaniaLuna

#LunaAir

THALIA (89).

Siang tadi via telepon junior saya melaporkan perkembangan kasus Karno yang sudah masuk agenda pembacaan tuntutan. Saya tidak sempat menghadiri sidang hari ini. Ada meeting penting yang tidak bisa diwakili. Junior saya mengabarkan untuk dakwaan KDRT dan Kekerasan Seksual terhadap Dita, Karno oleh Jaksa dituntut 16 tahun penjara dan denda sebesar 1 Milyar rupiah subsider 6 bulan kurungan serta pidana tambahan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik. Saya memberikan petunjuk seperlunya terkait hal-hal penting yang harus masuk ke dalam materi pledoi kami sesuai dengan fakta persidangan kepadanya. 

Setelah meeting saya tidak sempat lagi kembali ke kantor. Pukul lima sore setiap hari saya menyudahi segala tetek bengek urusan pekerjaan untuk Thalia sampai waktunya ia tidur, biasanya pukul delapan malam. Saya berusaha untuk tidak melewatkan satu senja pun tanpa bersama dengan Thalia. Sekedar mengajaknya bermain di apartemen kami, atau menikmati senja di taman terdekat. Urusan kerjaan bisa menunggu setelah itu.

Sore ini Thalia ingin bermain rollerblade di taman. Sampai di taman, ia langsung berbaur dengan beberapa anak lain.

"Jadi begini kegiatan Lawyer galak di sore hari. Menjadi pengawas taman?"
Suara itu mengagetkan saya. Luna? Ah! Kejutan yang menyenangkan.

"Hi, sedang apa kamu di sini, Luna?"

"Kebetulan lewat, Sa. Kayang, teman aku tinggal di apartemen itu.” Luna menunjuk ke apartemen sebelah. “Aku memberikan tumpangan untuknya," lanjut Luna sambil menunjuk ke arah mobil yang terparkir di seberang jalan.

"See? Bahkan semesta memberikan jalan untuk kita bertemu,” sengaja saya katakan itu untuk menggodanya. 

Luna tertawa. “Halah, kamu. Dari dulu gombalnya ngak berubah! Kamu ngapain di sini?"

"Saya tinggal di sini, Luna. Bersama Thalia, putri semata wayang saya. Itu dia, yang pakai rollerblade warna pink,” jawabku sambil menunjukkan Thalia kepada Luna di antara kerumunan anak kecil yang sedang asyik dengan dunia mereka sendiri.

"Ibunya mana? Koq kamu sendiri?" tanya Luna. Pertanyaan yang selalu mampu membuat saya tercekat.

"Ibunya sudah di surga. Sejak enam tahun yang lalu, Luna...,” jawab saya sambil berusaha tetap tersenyum.

"Sorry, Sa. Aku ngak tahu. Really, sorry for your loss,” ujar Luna, menyesali pertanyaannya yang membuatku teringat luka kehilanganku. 

"Hei, iya. Ngak apa-apa. Thanks, Luna," saya membalasnya dengan senyum dipaksakan.

"Dad, tante ini siapa?" tiba-tiba Thalia sudah ada di dekat kami.

"Ini Aunty Luna, Sayang. Teman Daddy waktu kuliah dulu.”

"Anak cantik dan pinter ini namanya siapa?" Luna mengulurkan tangannya kepada Thalia. Thalia diam. Jemarinya yang kecil meraih tangan saya dan menyembunyikan dirinya di belakang saya. Luna tersenyum. Tidak memaksa. 

“Tante mau pulang dulu ya, Thalia. Nice to meet you,” katanya pada Thalia. “Aku jalan dulu ya, Sa,” dia mengalihkan pandangannya padaku, dan melambai. Saya membalas lambaian tangannya.

Sore yang hangat. Sehangat senja yang semakin saga. Saya menarik Thalia ke dalam pelukanku. “Tadi kenapa ngak menjawab pertanyaan Aunty Luna?” tanyaku sambil mencium kedua pipinya, gemas. 

~Ditulis oleh 
#JeyAndaru, diedit oleh #TaniaLuna

#LunaAir
DITA-FLASHBACK (90).

Setelah disuruh oleh Kak Luna untuk kasi tau Mama soal Om Karno, aku terus menunggu waktu untuk bisa cerita ke Mama berdua saja. Menunggu Om Karno tidak ada di rumah.

Awalnya Mama seperti tidak percaya padaku. Berkali-kali dia meyakinkanku bahwa itu hanya cara Om Karno menyayangiku, bahwa aku hanya berprasangka saja, karena selama ini aku memang tidak pernah punya sosok seorang ayah. 

Aku menangis. Aku takut. Aku tidak tau lagi harus bagaimana meyakinkan Mama. Aku memang tidak terlalu dekat dengan Mama. Mungkin itu sebabnya Mama mengira aku mengarang cerita tentang Om Karno. Tapi setidaknya, aku sudah melakukan apa yang disuruh oleh Kak Luna.

Ternyata walau awalnya Mama tidak percaya pada ceritaku, dia mulai mengawasi tingkah Om Karno saat dia ada di rumah bersamaku. Hingga beberapa hari kemudian, Mama mengajakku pergi.

Aku tidak tahu apa yang terjadi. Tiba-tiba saja kami pergi meninggalkan semuanya. Bahkan aku tidak sempat ke sekolah untuk memberi kabar, tidak sempat ke kantor Kak Luna juga. 

Kami pergi. Mencari tempat tinggal lain. Menghilang dari Om Karno. Tetapi tempat tinggal baru kami terlalu jauh bagiku untuk berjualan kue lagi sampai ke kantor Kak Luna...

#TaniaLuna

#LunaAir

AKU TIDAK MAU!! (91).

Setelah hampir dua bulan aku tinggal berdua saja sama Mama, tiba-tiba suatu hari Om Karno muncul di rumah kontrakan baru kami, bersama Mama. Kata Mama, Om Karno akan tinggal lagi bersama kami. Kata Mama, Om Karno sudah menjelaskan semua yang terjadi dan Mama bisa menerima semua penjelasan Om Karno.

Aku takut... Aku takut sama Om Karno. Ketika dia menatapku sambil tersenyum menyeringai, hatiku menciut. Aku benci pada Mama. Aku benci pada Mama yang membawa Om Karno kembali ke kehidupan kami. Kak Luna... Tolong aku.. 

Dan benar saja, tak menunggu lama, beberapa hari kemudian, ketika Mama berangkat kerja di pagi hari, Om Karno berteriak memanggilku yang sedang mencuci piring di belakang rumah. 

Dengan takut aku berjalan mendekatinya. Ya Allah.. Aku takut. Kak Luna... Aku harus bagaimana.. 

“Sini, Dita. Duduk di dekat Papa,” katanya sambil menepuk pahanya. 
Melihat aku yang ragu, dia menarikku, lalu mendudukkanku di pangkuannya. “Papa sayang sama Dita. Kok Dita tega ngomong yang tidak-tidak sama Mama?” tanyanya lagi. Tangannya menggelus punggungku. Bibirnya mendekat ke wajahku. 

“Dita tau kan, kalau Papa cium berarti Papa sayang?” tanyanya lagi. Aku gemetar. Ingin lari. Tapi lengannya menahanku dengan kuat. Dia mencium bibirku, tangannya mulai meraba dadaku. Aku mendorong tubuhnya dengan kuat. 

“AKU TIDAK MAU!!!!!!” Aku ingin berteriak. Tapi suara yang keluar hanya jeritan kecil. Tubuhku gemetar tak terkendali. Aku bahkan tak bisa bergerak ketika Om Karno mulai membuka celanaku. Aku menendangnya… Lalu dia menamparku. Aku memukulnya, tapi dengan mudah dia menangkap tanganku dan menahannya. Aku benci Mama. Mengapa dia mengijinkan laki-laki ini kembali ke rumah ini?? AKU BENCI MAMA. Kak Lunaaaaa.. Tolong aku. Tolong aku...

Aku menjerit ketika merasakan sakit yang teramat sangat di daerah kemaluanku.. Bajingan itu tidak berhenti sampai di sana. Sakit itu terus berlanjut, berdentam-dentam menghantam tubuhku, hingga aku hampir kehilangan kesadaran. Setelah semuanya selesai, Om Karno tersenyum dengan menjijikkan padaku dan berkata, “Pergilah mandi. Awas kalau kau berani cerita pada Mamamu!” 

Setengah menyeret tubuhku, aku masuk ke kamarku, meringkuk di sudut pintu, menunggu kematian.

#TaniaLuna

#LunaAir

VONIS (92).

Ruang sidang penuh sesak hari ini. Penerapan kebiri kimia dalam tuntutan Jaksa untuk Karno menarik perhatian masyarakat. Hari ini vonis akan dibacakan. Saya telah meminta Karno agar siap dengan segala kemungkinan vonis yang akan jatuh. Sebab bebas sudah tidak mungkin lagi, Karno harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. 

Majelis Hakim telah memasuki ruangan sidang, saya melihat Luna duduk di bangku pengunjung deretan paling depan. Beberapa kali kami beradu pandang, wajahnya terlihat tegang. Menunggu keputusan hakim. 

Materi pembelaan Karno saya susun seobjektif mungkin walau kami berada dalam posisi yang sangat subjektif dan telah saya bacakan pada persidangan sebelumnya. Karno saya mohonkan agar tidak dikebiri. Belum ada hasil penelitian yang pasti apa efek samping kebiri kimia tersebut. Pidana bukan semata untuk membalas dendam, pidana di zaman modern ini lebih kepada sarana edukasi baik untuk pelaku maupun masyarakat umum agar tidak melakukan perbuatan yang sama.

Majelis Hakim mulai membacakan pertimbangan-pertimbangan dalam sidang yang hari ini dinyatakan terbuka untuk umum setelah keseluruhan proses persidangan dilaksanakan dalam sidang tertutup.

"Mengadili, menyatakan Terdakwa tersebut di atas telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Memaksa anak untuk bersetubuh dengannya sebagaimana dalam dakwaan komulatif. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 18 tahun dan denda sebesar 1 milyar rupiah dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan..."

Belum selesai Ketua Majelis Hakim membacakan amar putusan, riuh rendah suara pengunjung sidang mulai terdengar memecah keheningan yang ada. Pro dan kontra terdengar. Ada yang puas ada pula yang tetap menghendaki agar Karno dikebiri.

"Kami pikir-pikir Yang Mulia,” kata Jaksa menjawab pertanyaan Ketua Majelis tentang bagaimana sikap mereka terhadap putusan.

"Pak, saya tidak akan banding. Terimakasih sudah membantu," lirih suara Karno terbata kepada saya, mungkin lega tidak mendapatkan hukuman kebiri kimia, sebelum akhirnya saya menyatakan menerima putusan.

"Terimakasih, Sa. Aku senang hakim menjatuhkan hukuman yang lebih berat daripada tuntutan Jaksa, walaupun agak kecewa karena hukuman kebiri tidak dapat dikabulkan.” Pesan text Luna masuk di HP saya tidak lama setelah ia keluar dari ruang sidang. 

Saya tidak bisa menyusulnya, sidang perkara lain segera dimulai dengan Majelis Hakim yang sama. 

See you next time, Luna. Kita pasti akan bertemu lagi. Bukan sebagai pengacara pihak lawan, melainkan sebagai seorang lelaki yang menyukai seorang perempuan seapa-adanya ia. Suka bukan cinta. Mungkin lusa. Entah.

~Ditulis oleh 
#JeyAndaru, diedit oleh #TaniaLuna

#LunaAir

WA YUDHISTIRA (93).

“Om Karno dihukum 18 tahun penjara.” WA dari Luna masuk ke HP-ku. Ah.

“Senang mendengarnya. Keadilan sudah ditegakkan.” Aku membalas sebaris WA itu. Tanda hijau centang menunjukkan kalau WA-ku sudah dibaca.

“Kemarin aku ke kafemu.” 

“Ya, aku tahu.”

“Kamu sama siapa?”

“Cintya,” jawabku singkat, tak ingin menjelaskan lebih banyak.

“Oh.”

Lama. Typing… typing… typing… Tapi tidak ada satu pun pesan yang masuk ke WA-ku. 

“Ada perlu apa?” Akhirnya kuketikkan satu kalimat tanya itu. 

“Aku mau menjelaskan padamu tentang kesalahpahaman kita kemarin…”

“Salah paham?”

“Iya. Salah paham.” 

Aku mencibir. Dan melihat “typing…..typing…. typing….” Sebelum akhirnya sebaris kalimat muncul di hapeku. “Aku akan suruh Gerhana menjelaskan padamu secara langsung agar kamu percaya.”

Aku diam. 

“Kamu… Mau bertemu dengan Gerhana?” Kalimat berikutnya muncul di WA-ku. 

Gerhana. Cowok macam apa yang mau menemui aku karena disuruh oleh Luna? Dalam posisi ini, seharusnya aku yang mencari dia dan meminta pertanggungjawabannya atas apa yang dia lakukan pada pacarku, Luna. Dan bukan dia yang perlu menemuiku dan memberikan penjelasan. Karena diminta oleh Luna? Sebesar itukah arti Luna untuk dia? Siapa dia? Seperti apa dirinya? Aku ingin tahu. 

“Untuk apa, Luna. Bukankah hubungan kita sudah berakhir?” 

Lama sekali. Sepuluh menit berlalu tanpa jawaban. 

“Tapi jika kau merasa itu baik dan perlu, silakan kau atur tempat dan waktunya. Akan kutemui dia.” Akhirnya kuketikkan kalimat itu setelah tak mendapatkan jawaban atas pertanyaanku dari Luna.

Tanda centang hijau, pesanku terbaca. Tapi Luna tidak membalasnya lagi.

#TaniaLuna
#LunaAir

PERTEMUAN (94).

Kebetulan aku ada keperluan ke Jakarta minggu depan. Dan Luna bilang dia akan mengajakku untuk menemui Yudhis hari Minggu, setelah urusanku di Jakarta selesai.

“Ketemu di kafe Yudhis? Kau yakin Luna? Kau mau membicarakan masalah sepribadi ini di ruang public?” tanyaku.

“Aku takut tar Yudhis emosi. Kalau di tempat umum, dia akan lebih bisa menjaga emosinya…” jawab Luna. 

“Hadeh…” 

Lalu di sinilah kami. Siang hari. Kafe Yudhis tidak terlalu ramai waktu itu. Jujur aku cukup kaget ketika bertemu dengan Yudhis. Dia jauh dari bayanganku. Berkulit gelap tipical lelaki Jawa. Bermata elang. Pakaiannya bermerek. Gayanya juga metropolitan. 

Tiga cangkir kopi disajikan di depan kami bertiga. Tidak ada yang mengajak bersalaman. Kami diam dan saling menatap selama beberapa lama. Kuambil cangkir kopiku dan meminumnya. 

“So?” Akhirnya Yudhis bersuara. Haha. Tidak tahan juga dia melihat diamku. 

Kuletakkan cangkir kopiku. “Ya?” 

“Ada yang mau kau katakan padaku?” tanya Yudhis.

“Ya.” Aku tersenyum. Membalas tatapan sinisnya. “Aku hanya ingin mengatakan padamu, bahwa aku sungguh tidak mengerti mengapa Luna bisa mencintai seorang laki-laki yang menilainya begitu murahan dan tidak punya harga diri, sehingga begitu mudah mau bercinta denganku,” kuucapkan kalimat panjang yang sudah kuhafalkan di luar kepalaku sejak kemarin. Aku melirik Luna. Dia membeku di tempat duduknya. Yudhis menggertakkan giginya. 

“Aku tak akan pernah menilaimu serendah itu, seperti kekasihmu ini, Luna,” kataku sambil memasang senyum paling manis untuk Luna. 

Kuambil lagi cangkir kopiku, menghabiskannya, meletakkan kembali dengan baik di atas tatakannya. “Kukira sudah cukup kan kedatanganku ke sini? Aku sudah melakukan yang kau mau, Luna. Selamat siang.” 

Aku menepuk bahu Luna, “Jika kau sudah selesai dengannya, aku akan kembali.”

#TaniaLuna
#LunaAir

MAAFKAN AKU, TAPI... (95).

“Aku hanya ingin mengatakan padamu, bahwa aku sungguh tidak mengerti mengapa Luna bisa mencintai seorang laki-laki yang menilainya begitu murahan dan tidak punya harga diri, sehingga begitu mudah mau bercinta denganku,” kata Gerhana sambil menatap mata Yudhis.

Aku membeku di tempat dudukku. Seharusnya aku tidak memintanya datang menemui Yudhis. Ini keputusan paling salah yang pernah kubuat, usahaku untuk mempertahankan apa yang (pernah) kumiliki..

Aku melihat Yudhis mengertakkan giginya. Menahan amarah. Sampai Gege berlalu, kami diam tanpa bicara. 

Ya benar, kata-kata Gerhana menikam Yudhis dengan sempurna. Mempertanyakan integritasnya sebagai seorang kekasih. Tetapi kata-kata itu diucapkan bukan dengan maksud baik. Bukan untuk menolongku memperbaiki hubunganku dengan Yudhis, melainkan sebaliknya, untuk memastikan hubungan kami berakhir setelah pertemuan ini.

Dan dia berhasil melakukannya, ketika Yudhis akhirnya berkata, “Maafkan aku, Luna. Aku memang tidak bisa menjadi kekasih seperti yang kau inginkan. Aku minta maaf telah menuduhmu seperti itu, tetapi aku ngak akan sanggup hidup terus di dalam prasangkaku tentang hubunganmu dengan pria itu, dan pria2 lainnya.”

Pria2 lainnya? Yang mana lagi? Alisku berkerut, tapi aku sudah terlalu marah dan lelah setelah semua drama ini.

Sudahlah.

#TaniaLuna
#LunaAir

DATE (96).

Setelah persidangan Karno, saya menunggu seminggu untuk kemudian menelpon Luna demi satu janji kencan yang tertunda. Tidak ada alasan dia menolak. Kasus Karno telah selesai kecuali jika memang Luna tidak ingin lebih dekat lagi dengan saya.

Setiap keputusan memang selalu mengandung risiko. Namun jika itu mengenai Luna setiap risiko yang ada layak ditanggung apa pun itu. Saya tidak ingin berakhir dalam lingkaran pertemanan saja dengannya. Take it or leave it. Hidup terdiri dari pilihan-pilihan bukan? Pun sudah saatnya bagi Luna untuk memutuskan. 

"Halo..."

"Pukul 7 Selasa malam, 3 hari lagi, di J resto. Datang ya. Pakai gaun resmi. Ada acara.”

"Acara apa?"

"Merayakan keberhasilan sidang pengadilannya Om Karno. Bukankah menurutmu ini layak kita rayakan?”

Luna diam.

"Jangan lupa ingat-ingat lagi materi table manner-mu. See you there..."

"Sa..." terdengar suara Luna tepat sebelum saya memutuskan sambungan.

Tiga hari lagi kisah ini akan menemui takdirnya. Lanjut atau tetap seperti ini. Setidaknya saya telah memberikan kesempatan yang cukup untuk diri saya. Sebab penyesalan hanya milik orang-orang yang penuh keraguan.

HP-ku berbunyi. Luna. Dia menelpon kembali.

“Ya?”

“Sa... Sorry, aku ngak bisa datang.”

“Alasannya?”

“Aku baru saja putus dengan pacarku. Maaf ya, Sa. Bukan waktu yang tepat untuk undangan makan malammu itu.”

“Oh. It's ok. Take your time. Nevermind. Kamu baik-baik saja bukan?"

“Tidak, Sa. Aku tidak baik-baik saja. Terima kasih sudah bertanya.”

"Sama-sama. Kamu pasti bisa bangkit dan berdiri lagi. Nyonya Meneer saja bisa berdiri sejak 1918,” jawabku sedikit becanda. 

“Nyonya Meneer dinyatakan bangkrut sejak Agustus 2017, Sa. Ngak sanggup lagi dia berdiri terus,” jawab Luna sebelum memutuskan teleponnya. 

Sial! Saya lupa searching sebelum melayangkan candaan itu. Haha! Tapi ada rasa lega yang aneh menjalar di punggung saya setelah tahu rupanya Luna pernah punya kekasih dan baru saja putus. Saya akan menunggu. Asal jangan lama. Take your time, Putri Bulan.

~Ditulis oleh 
#JeyAndaru dan #TaniaLuna

#LunaAir

TENTANG SADEWA (97).
Edisi Lepas.

Sadewa menurut Jey Andaru
: ketika akun fiksi me-review seorang tokoh fiksi

Isi kepala Sadewa (37 tahun) berkutat pada penghormatan pada diri sendiri, agar ia dapat menghormati orang lain dalam standar yang sama. Profesinya sebagai lawyer membentuk pola pikirnya menjadi taat pada hukum logika. Hukum sebab akibat atau aksi reaksi menjadi dasar utama setiap keputusannya. 

Sadewa muda adalah sosok anak salah asuh yang dimanja oleh fasilitas yang akhirnya berhasil keluar dari zona nyaman dan belajar langsung pada kehidupan.

Mengalami peristiwa ditinggal mati isteri membuat pribadi Sadewa semakin kaya pengalaman emosional.

Sadewa sekarang disibukkan oleh pekerjaan dan peran sebagai Daddy sekaligus Mommy untuk Thalia (6 tahun), putri semata wayangnya.

Kehidupan percintaan Sadewa sebelum menikah sangat dinamis. Hinggap dari satu hati ke hati yang lain, sebelum akhirnya memutuskan untuk menikahi rekan seprofesinya lalu menikmati hubungan yang harmonis walau hanya sebentar saja.

Kelemahan Sadewa adalah ia menganggap dirinya tidak bertanggung jawab pada kebahagiaan siapa pun. Baginya bahagia adalah tanggung jawab masing-masing. Ia bukan sosok yang suka memanjakan pasangannya dengan hal-hal yang muluk. 
Sadewa lebih suka memberikan pasangannya sesuai dengan hak pasangannya tersebut. Jika toh Sadewa memberikan hadiah, selalu karena untuk mengapresiasi sikap baik yang sudah ditunjukkan oleh pasangannya tersebut. Sadewa taat pada prinsip take and give dalam suatu hubungan. Terima (ambil) lalu berikan.

Sadewa bukan type lelaki pemburu yang nekat. Sadewa tidak akan mengejarmu sampai "ke kamar tidurmu". Ia akan datang di tempat yang netral lalu mengajakmu datang pula ke tempat itu untuk memastikan apakah kau juga memiliki ketertarikan yang sama dengannya. 
Baginya hubungan yang berhasil adalah hubungan yang dijalani dengan santai dan sederhana. Tunjukkan suka jika memang suka. Kesesuaian sikap dan kata hati menjadi hal yang sangat bernilai baginya. Menjalin hubungan agar sama-sama merasa senang. Bukan minta disenangkan, atau berusaha menyenangkan orang lain. Sadewa percaya pameo "You pay peanut you got monkey" dalam setiap aspek hidupnya. Termasuk dalam kisah percintaannya. Hati yang kau dapat hanya karena kau sering memberi hadiah untuk menarik perhatian adalah hati palsu, kata Sadewa.

Sadewa hampir tidak pernah cemburu. Ia percaya cemburu bukan akibat dari cinta. Mencintai baginya adalah kebutuhan, jika ternyata dia salah memilih hati yang ternyata suka berkhianat, maka cerai baik-baik lebih utama ketimbang menghabiskan waktu untuk saling menyalahkan. Sedih? Tentu. Tapi larut dalam kesedihan bukan pilihan yang bijak.
Lalu apa lagi kelemahan Sadewa? Setiap kata dalam profil Sadewa di atas sekaligus kelemahannya. Demikian.

*Selamat jalan Sadewa. Senang pernah mengenalmu. Sayang sekali, salah satu "Tuhan Penciptamu" yang bernama Tania itu hendak menjatuhkan "kiamat" yang menghentikan kisah dalam semesta tempat kau pernah hidup. 
😉

Catatan dari 
#TaniaLuna: paragraf terakhir itu ucapan selamat tinggal dari Sadewa waktu ajakan kencannya ditolak Luna.  😅 😅 😅

Ditulis oleh 
#JeyAndaru.

#LunaAir

SADEWA DI MATA LUNA (98).

Pertama kali bertemu dengan Sadewa, karena memenuhi titah Shella untuk menemuinya, menanyakan kejelasan hubungan mereka. Pertemuan yang berakhir dengan penghinaannya padaku, sebagai sang dayangnya Tuan Putri. 
Terus terang, hubunganku dengan Shella adalah hubungan mutualisme. Aku tidak cuma-cuma menumpang di dalam apartemennya itu. Hampir semua tugas dan PR Shella menjadi pekerjaanku. Selain kami memang bersahabat dekat, tentunya. 

Makanya ketika Sa menyebutku dayang bayaran, aku sangat marah. Tapi entah mengapa, seminggu setelah itu, dia datang ke apartemennya Shella dan minta maaf padaku. Setelah itu, kudengar sepak terjangnya dari cerita Shella yang ngak mup on-mup on sama si Sa. 

“Dewa berpacaran dengan satu gadis ke gadis lain,” cerita Shella padaku. Cih. Dewa. Aku mah ngak sudi memanggilnya Dewa. Dewa Langit, Dewa Bumi, satu pun ngak ada yang sesongong dia. Jadi kupanggil dia SA. Cukup Sa. Perkara dia suka atau kagak, itu bukan urusanku. 

Kami beberapa kali bertemu di perpustakaan kampus. Tempat yang sangat aneh bagiku sebenarnya, untuk bisa bertemu dengan Sa. Tapi itulah yang terjadi. Kami hampir selalu bertemu di sana. Maksudku.. Jika aku bertemu dengan Sa, ya itu karena dia ada di perpustakaan itu, walaupun tidak selalu ada dia saat aku ke sana. 

Tapi jujur saja, Sa bukan tipeku. Ketampanan, kecerdasan dan kekayaannya, membuatnya menjadi incaran para perempuan di kampus. Dan dia hinggap dari satu bunga ke bunga lain. Patah hati tak pernah lebih dari 3 hari, katanya. Setelah itu, hari ke-4, sudah bisa kau lihat dia menggandeng perempuan lain. 

“Hei, kau tak pernah cemburu pada perempuan-perempuan di dekatku?" Suatu hari dia bertanya, saat aku asik tenggelam membaca diktat dan buku-buku referensi untuk materi kuliahku. 

“Cemburu? Untuk apa?” tanyaku. Acuh. 

“Kalau kau cemburu, aku akan tinggalkan mereka semua, dan memilihmu,” jawabnya ketika itu.

“Sorry, Sa. Aku ngak bisa. Kau boleh saja terkenal di antara teman-teman setanah air di sini. Tapi aku ngak bisa mengikuti gaya hidupmu.” Kukatakan itu dengan nada sedikit ketus. Dih. Apaan. Mungkin dia kirain aku kayak perempuan-perempuan itu yang akan langsung menghambur ke pelukannya saat dia bilang akan memilihku. 

Kali ini dia salah.

#TaniaLuna

#LunaAir

KELAM (99).

Baru saja aku keluar dari ruangan dokter Alex. Pengecekan berkala. Dan kabar yang kudapat, menyesakkan dada. Ditemukan sel kanker baru di dadaku..

Aku tidak tau apakah aku akan mampu menjalani serangkaian pengobatan kemoterapi lagi atau tidak. Aku tidak tau apa aku akan mampu bertahan hidup lagi atau tidak. Aku bahkan tidak tau, apakah aku akan mampu tetap punya semangat hidup lagi atau tidak.

Aku takut. Selama beberapa tahun ini, rutin check up, dan selalu baik-baik saja. Membuatku yakin, Tuhan inginkan aku hidup lebih lama di bumi ini.

Sekarang.. dokter Alex memberikanku bom waktu, yang meledak dan menghancurkan hatiku.

Aku takut. Tak pernah aku merasa takut sekelam ini.. Air mataku jatuh satu-satu.

Kau akan mati, Luna.

Aku menangis histeris di dalam mobilku. Di lantai basement di tempat parkir. Dunia menggelap dan terasa mengerikan, untuk seorang Luna yang begitu kecil dan tak berdaya...

#TaniaLuna
#LunaAir

CERUK (100).

Hati itu serupa ceruk di dataran rendah. Dan cinta itu serupa air. 
Hati-hatilah dengan hatimu. Tinggikanlah dia. 
Karena sifat air adalah selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah, dan mengisi ceruk kosong di sana.

Jadi hati-hatilah dengan hatimu. Jangan biarkan ada ceruk kosong di sana. Sebab akan selalu ada cinta yang akan datang menghampirimu, untuk mengisi bagian yang kosong itu. 

Riuhkan duniamu. Agar sepi tak sempat hadir. Agar sunyi menemui ajalnya. Agar tak ada cinta lain yang datang memeluk kekosongan jiwamu. 

Akan selalu ada tangan yang akan memelukmu saat kau butuh. 
Tapi tak berarti kau harus menerimanya karena rapuh.

Tak berarti kau harus mengiba pada cinta yang sudah berlalu, Luna..

Perlahan aku menghapus pesan WA yang kuketik di HP-ku. Pesan untuk Yudhistira. Aku menatap nanar ke layar yang menghitam di mataku. Gelap.

Hai, Luna. Lihatlah sisi positifnya. Setidaknya... Jika kau mati sekarang... Tak ada yang akan berduka dan kehilangan.

#TaniaLuna
#LunaAir

EUTHANASIA (101).


“Bagaimana keadaanmu?" tanya Kayang, melihat mataku masih sembab. Iya, kuceritakan hasil pemeriksaan kemarin kepadanya. Pada Kayang, aku ngak punya rahasia. 

"Aku memutuskan untuk tidak ikut kemo lagi, Kay.."

"Kenapa?"

"Aku ngak akan sanggup lagi jika harus menjalani berbulan-bulan penderitaan seperti yang dulu kujalani, Kay. Terlalu melelahkan bagiku, baik secara fisik maupun psikis."

Kayang terdiam menatapku. "Jika kau butuh sesuatu, Luna. Apapun juga... Kau cukup mengatakannya padaku. Jangan pernah sungkan padaku, ya." Dia mengucapkannya sambil menggenggam kedua telapak tanganku. Terasa hangat di hatiku. Terasa hangat di mataku. Air mataku jatuh.

"Hei. Jangan nangis. Kau akan baik-baik saja..,” Kayang menepuk punggung tanganku yang ada dalam genggamannya. Aku mengangguk. 

"Aku akan baik-baik saja. Terima kasih, Kay," Kuulangi kata-kata Kayang dan membentuk senyum di bibirku dengan susah payah. 

Aku tidak tau apakah keputusanku untuk tidak menjalani kemoterapi lagi adalah keputusan yang benar atau tidak. Tapi inilah keputusanku saat ini. 

Jika saatnya nanti aku tak sanggup lagi menjalani rasa sakit ini, aku berharap euthanasia sudah dilegalkan di negri ini. 

#TaniaLuna
#LunaAir


EUTHANASIA (102).

Ketika aku menuliskan tentang keinginanku untuk euthanasia di akun Luna Air, aku mendapatkan banyak komen kontra di sana.

Mengapa banyak yang kontra terhadap euthanasia?
Euthanasia itu bukanlah bunuh diri. Setiap manusia, diakui atau tidak, punya hak penuh atas hidupnya sendiri. Jika mau bunuh diri, dia bisa minum racun, memotong nadi, loncat dari monas, menabrakkan diri ke jalur kereta api.. dll.. dll.. Dan jika dia melakukan itu, tidak seorang pun yang bisa mencegahnya.

Euthanasia adalah sebuah tindakan mengakhiri hidup, dengan pertimbangan medis yang jelas bahwa memang sang penderita sungguh tidak layak lagi disebut hidup, tidak ada lagi kemungkinan untuk sembuh, mempertahankan kehidupannya hanyalah sebuah kejahatan kemanusiaan, kerena sama artinya dengan memperpanjang penderitaannya.

Mungkin, dalam pemikiranku, yang menjadi masalah dalam euthanasia adalah bukan bunuh dirinya, tetapi “pembunuhan berencana”-nya. Para dokter dan tim medis yang melakukan euthanasia, memiliki tanggung jawab yang berat. 

Jika ada sisi kemanusiaan yang harus kupertimbangkan sebelum mengajukan keinginan untuk melakukan euthanasia, itu adalah tanggung jawab moral para dokternya.

Jika mau bunuh diri, minum obat tidur over dosis akan lebih baik dan nyaman bagi semua orang. Begitu kah?? Tetapi saat kau dalam kondisi tak berdaya, terbaring di RS dengan pembuluh darah pecah dan kulit yang mulai membusuk, bahkan untuk bunuh diri pun kau tak akan sanggup lagi.. Dan orang-orang di sekitarmu, hanya “menikmati” penderitaanmu, sambil berdoa agar kau bisa cepat dipanggil oleh sang Maha Kuasa. 

Gereja secara jelas dan eksplisit mengecam dan mengharamkan praktek euthanasia yang sudah dilegalkan di Belanda dan beberapa negara lainnya. 

Tetapi jika hukuman mati untuk penjahat, yang artinya sama: mengambil alih tangan Tuhan atas nyawa manusia lain, bisa dilegalkan... Mengapa euthanasia yang dilakukan atas alasan kemanusiaan, tidak boleh dilakukan? Melarang dan kontra terhadap euthanasia, sesungguhnya melanggar hak setiap individu atas hidupnya, dan juga menempatkan dokter sebagai pembunuh dengan alasan kebaikan.

Karena walaupun euthanasia tidak dilegalkan, dalam prakteknya, sudah banyak dokter yang memberikan dosis obat penahan nyeri, yang bisa membantu pasien untuk lebih cepat “pergi”. 

Tidak akan ada dokter yang akan menganjurkan euthanasia jika sang pasien masih dalam keadaan baik dan layak hidup. Dan mendapatkan ijin euthanasia, tidak semudah kau mengiris nadimu.

Setiap manusia, seharusnya punya hak untuk memilih mati secara layak. 

#TaniaLuna
#LunaAir

http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/download/580/512

https://www.kompasiana.com/tessa.sitorini/euthanasia-di-negeri-belanda_552b6b8d6ea83417468b45a3#

JANJI KENCAN (103).

“Sa.. Janji kencan kemarin itu.. Masih berlaku?” tanyaku ketika suara “Hallo, Luna,” sampai di telingaku.

Sa tertawa mendengar pertanyaanku. “Tentu saja, Luna. Walau ngak pernah kusangka akan secepat ini kau menghubungiku. Hatimu yang patah, sudah sembuhkah?”

Aku mendengus. “Hatiku masih patah, Sa. Tapi aku perlu bertemu denganmu. Ada beberapa hal yang mau aku konsultasikan denganmu.. dengan profesimu sebagai lawyer.. Aku mungkin butuh bantuanmu,” kataku. 

“Oh ya? Ada kasus lain lagi? Atau ada masalah dengan Dita?” tanya Sa.

“Bukan, Sa. Ini tentang aku. Ceritanya panjang. Akan kuceritakan nanti kalau kita bertemu.”

Sadewa tertawa. “Jawabanmu tentang Nyonya Meneer itu sampai sekarang masih membuatku tertawa sendiri, Luna.”

Mau ngak mau aku ikut tertawa, “Leluconmu kadaluarsa, Sa.”

“Besok pagi, hari Minggu, Thalia minta diajak jalan ke Ancol. Kau mau ikut? Kukira kau perlu piknik, setelah patah hati. Bukankah begitu?”

Entah mengapa aku membayangkan Sa mengedipkan matanya dengan jenaka di seberang sana. 

“Benar aku boleh ikut?” Akhirnya kutanyakan itu, membayangkan sosok Thalia.

“Tentu saja. Akan kujemput jam 7 pagi, besok!” jawab Sa sambil menutup teleponnya.

😶 😶 😶 <== tampang Luna.

#TaniaLuna
#LunaAir

MINGGU PAGI (104). 

Minggu pagi, 15 menit sebelum pukul 07.00, mobil Sa sudah menunggu di bawah apartemenku. Melihatku berjalan ke arahnya, pintu kiri depan mobil terbuka, dan Thalia melompat turun.

"Hallo, Thalia. Kenapa turun?" tanyaku sambil tersenyum.

"Tante duduk di depan saja sama Daddy, saya pindah ke belakang," jawab Thalia. 

"Lho.. Ngak perlu pindah. Biar Tante Luna duduk di belakang saja..." Aku berusaha mencegahnya. 

"Ngak apa-apa, Tante. Saya lebih nyaman di belakang," jawabnya lalu membuka pintu belakang dan duduk di sana. 

Dengan ragu aku masuk dan duduk di samping Sa yang sedang menyetir.

"Hei, bukan saya yang menyuruhnya pindah ke belakang lho. Jangan menatapku dengan pandangan seperti itu!" Sadewa tertawa melihat pandanganku yang menuduh dan menyalahkannya. "Dia mau lebih bebas menilai calon Mommy-nya," lanjut Sa sambil tertawa ngakak. 

Eh. Aku melirik ke arah Thalia. Dia cemberut ke arah Daddynya. Aku tertawa. 

"Jangan kuatir, Thalia. Daddymu ini suka bercanda. Tante ini teman kuliah Daddymu dulu, dan sekarang ada hal penting yang mau Tante diskusikan sama Daddymu. Jangan dianggap serius kata-kata Daddymu tadi."

Thalia tertawa, tawa pertama yang kulihat sejak bertemu dengannya. 

"Daddy ini serius, Tante," katanya. Entah bercanda atau tidak, aku sulit membedakannya. 

Sadewa hanya tertawa mendengar jawaban Thalia, tanpa berniat mengoreksinya. Mobil melaju membelah keramaian kota. Dan kepalaku riuh mencerna kata-kata Sadewa dan Thalia.

Andai kau tahu tentang penyakitku, Sa.. 

#TaniaLuna
#LunaAir

JADILAH PENGACARAKU (105).

Seharian berlari dan bermain di pantai, ternyata cukup melelahkan bagi Thalia. Menyenangkan melihat Thalia yang bisa cepat akrab dengan Luna. Tidak sampai tengah hari, telingaku sayup2 mendengar Thalia sudah memanggil Luna sebagai Anty. Setelah makan, dalam perjalanan pulang, Thalia tertidur di kursi belakang mobil. Saya mengarahkan mobil ke arah apartemen Luna, mengantarnya pulang terlebih dahulu.

"Apa pendapatmu tentang euthanasia, Sa?" tanya Luna, memecah kesunyian di antara kami.

“Ini masalah yang mau kau bicarakan denganku?” tanyaku, sambil tetap fokus pada jalan raya. Saya mengecilkan volume musik di mobil. “Menurutku, jika manusia punya hak untuk hidup maka konsekuensi logisnya hak untuk mati pun ikut melekat," jawabku. “Tapi euthanasia belum dilegalkan di negeri ini, Luna.”

"Bagaimana agar euthanasia bisa dilegalkan di negeri ini, Sa?” tanya Luna lagi.

"Diperlukan proses yang sangat panjang. Melakukan judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap KUHP bisa jadi langkah awal. Namun kita butuh person yang punya legal standing kuat untuk meminta itu."

"Lalu?"

"Jika MK tidak setuju, maka mendesak pembuat undang-undang untuk mengatur euthanasia adalah langkah terakhir dan satu-satunya.”

"Kalau begitu untuk apa ke MK? Langsung minta audiensi ke DPR atau Pemerintah sebagai pembuat UU-kan bisa,” tukas Luna.

"Iya bisa. Tapi kebutuhan legitimasi yang kuat dari suara masyarakat pendukung menjadi kepastian. Nah, efek domino pemberitaan akibat permohonan JR ke MK bisa dimanfaatkan untuk mendukung kampanye issue yang diangkat. Walaupun Saya pesimis MK akan mengabulkannya. Lihat saja JR tentang pasal zina dan LGBT belum lama ini." Saya memperlambat laju mobilku, ketika ada satu kendaraan melintas cepat dan memotong jalurku.

"Namun saya menganggap JR ke MK itu sebagai strategi test the water dan sarana untuk memetakan pihak mana yang pro dan mana yang kontra dengan menghemat waktu dan biaya kampanye issue,” lanjutku.

“Pasal zina dan LGBT itu kan pasal karet, Sa. Apa bisa disamakan dengan euthanasia?"

"Bukan itu point-nya. Tapi pendapat MK yang tidak mau membuat norma baru kaitannya dengan zina dan LGBT menjadi masalah. Besar kemungkinan MK berpendapat sama dengan euthanasia ini."

"Lalu apa syarat agar seseorang memiliki legal standing sebagai pemohon di MK?”

"Orang itu mesti memiliki kepentingan langsung terhadap pemberlakuan izin euthanasia terhadap dirinya, misalnya para penyintas penyakit yang menghadapi maut setiap hari,” Saya mengucapkannya pelan-pelan. Jangan-jangan...

"Jika aku bilang, aku punya orang yang memenuhi syarat tersebut, kamu mau menjadi kuasa hukumnya, Sa?"

"Siapa?" Ada sedikit getar kekhawatiran yang kutahan dalam nada pertanyaanku.

"Jawab dulu, Sa.”

"Ini soal pekerjaan, Luna. Saya tidak bisa jawab mau atau tidak mau dengan gegabah.”

"Aku, Sa. Aku orangnya. Kamu mau jadi kuasa hukumku?”

"What?! Kamu? Jangan bercandalah, Luna!”

"Apa pantas bercanda untuk soal ini, Sa?" tanya Luna, pelan.

Saya terdiam.

"Berikan seluruh data rekam medis kamu beserta alasan kenapa kamu mau meminta ini secara tertulis. Saya tidak bisa menjawab sekarang. Akan saya kaji terlebih dahulu."

"Kapan kamu bisa memberi jawaban, Sa?"

"Tiga hari setelah seluruh data yang saya minta telah kamu berikan. Cukup?"

"Besok pagi akan kuantarkan ke kantormu.”

~Ditulis oleh 
#JeyAndaru, diedit oleh #TaniaLuna
#LunaAir

VALENTINE (106).

"Sa, Rabu pukul 11.00 aku akan ke kantormu ya, mengantarkan rekam medisku yang kau minta.." Kuterima WA itu di hari Senin pagi dari Luna.

Hari Rabu. Saya melirik kalenderku. Hmm.. Bulan Februari selalu memiliki arti yang special bagiku. Valentine, dan hari ulang tahunku yang jatuh di bulan yang sama.

Maka dari kemarin saya meminta staff untuk mendekor kantor dengan tema Valentine dan sedikit nuansa Imlek. Luna kan merayakan Imlek juga. 
😆

Staff saya sangat antusias mendengar keinginan saya untuk mendekorasi ruangan. Mungkin mereka mengerti selama bertahun-tahun bekerja pimpinan mereka tidak pernah sekali pun menunjukkan kehidupan percintaannya di kantor. "Mr. Ice", begitu julukan yang diam-diam mereka sematkan kepada saya.

Dan ya. Pagi ini ketika saya tiba di kantor, suasana kantor sudah meriah dengan ornamen-ornamen Valentine dan Imlek. 
"Tambahkan tulisan ini di ruangan saya," kataku pada salah satu staff sambil mengulurkan selembar memo. Staff itu menerima memonya sambil tersenyum lebar. Hm. Beraninya mereka meledekku.

"Happy Valentine, Luna. Be you. Be happy".

Pukul 11.00 tepat Luna datang. Seorang staff mengantar Luna ke ruangan saya. 

"Staff saya melaporkan ada Putri Bulan datang mencari saya," kataku mengagetkan Luna yang sedang terpana melihat tulisan di dinding belakang meja kerja saya.

"Apa ini, Sa?" tanya Luna. 

“Kamu klien yang ke 777 selama firma ini berdiri. Angka 7 angka keramat bagi saya," jawabku. "So, ini sudah jadi kebiasaan kantor saya menyambut klien istimewa. Kamu tidak perlu ge-er. Helm kamu dibawa bukan?" lanjutku mengajak becanda. “Lagian salahmu datang di hari Valentine,” tambahku. 

Luna terdiam. Nampak senyum canggung di wajahnya. "Saya bercanda, Luna. Saya melakukan semua ini karena kamu memang layak diistimewakan. Happy Valentine, Luna," bisikku sembari memberikan buket mawar putih kepadanya.

"Jarang ada yang memberikan mawar putih di hari valentine, Sa.." ucapnya pelan. "Bagaimana kau tahu ini adalah bunga kesukaanku?" Luna menerima buket mawar putih itu. Matanya memerah. “Hari ini aku sudah bawa data yang kamu minta, Sa,” lanjut Luna sambil berusaha menyembunyikan airmatanya.

"Don't talk about it sekarang. Sesuai janji saya, kita akan membahas soal itu 3 hari dari sekarang,” jawabku. "Nah, untuk hari ini, maukah kau memenuhi permintaan saya? Hari ini kamu temani saya. Ada dua orang lagi yang harus saya temui di hari valentine ini. Dua orang yang sangat berjasa dalam hidup saya. Would you? Please?"

Luna memikirkan sejenak permintaanku, sebelum akhirnya ia mengangguk. 

“Berikan kunci mobilmu, akan kusuruh sopir mengantarkannya ke apartemenmu.” Luna menyerahkan kuncinya padaku. Saya keluar gedung bersama Luna, seluruh staf menyapa Luna. "Happy Valentine, Mbak Luna," kata mereka. Luna membalas sapaan mereka dengan keramahan yang sama. Buket bunga mawar putih itu didekapnya di depan dada. 

~Ditulis oleh 
Jey Andaru, diedit oleh Tania Luna.
#LunaAir

MAWAR PUTIH (107).

Aku tiba di kantor Sa hari Rabu pagi. Hampir melupakan kalau hari ini adalah Valentine Day. Yudhis tidak merayakan Valentine. Setiap hari adalah hari kasih sayang. Kau tak perlu hari khusus untuk menunjukkannya, begitu kilahnya.

Maka ketika aku tiba di kantor Sa dan melihat banner ucapan Happy Valentine untukku itu, air mataku merebak.

“Kamu istimewa. Kamu pantas dan layak diistimewakan,” kata Sa. Padahal.. Dia hanya teman. Bukan pacar, bukan kekasih. Ketika dia mengulurkan sebuah buket mawar putih kepadaku, tiba-tiba aku ingat keinginanku dulu, jika aku menikah nanti, maka buket bunga pengantinku adalah bunga mawar putih.

Waktu itu Mama langsung menepis keinginanku itu. “Pernikahan adalah hari bahagia. Dan warnanya adalah merah. Mawar putih adalah bunga kematian, Luna!”

Maka aku kemudian diam-diam mengubur dalam-dalam keinginanku itu. Dan tak lagi mengharapkan mawar putih pemberian siapapun. Aku menanamnya sendiri di beranda belakang apartemenku di dalam sebuah pot bunga, mawar putih yang kusuka.

Bukankah memang seharusnya begitu? Kau lebih baik mengusahakan sendiri apa yang kau mau, daripada mengharapkan orang lain memberikannya padamu?

Mawar putih adalah bunga kematian, Luna. Tak layak untuk tampil dalam buket bunga pernikahan. Dan hari ini Sadewa memberikannya padaku..

Kudekap erat mawar putih itu di dadaku.

Terima kasih ya, Sa... 

#TaniaLuna
#LunaAir
ZIARAH (108).

Mobil melaju mengarah ke Karawang. Gerimis siang itu menambah sendu suasana. Luna nampak murung, ia terus mendekap buket mawar putih yang saya berikan.

"Kita kunjungi mama dan Lidya di tempat peristirahatannya yang terakhir," kataku.
Luna menoleh ke arahku. Ia hanya mengangguk. Lalu kembali tenggelam dalam lamunannya.

"Kita sudah sampai, Luna,” kataku memberi isyarat agar Luna turun.

Kami berjalan menuju pusara. Gerimis tidak juga berhenti. Untung saja sebuah payung tersedia di bagasi mobil jadi rambut Luna tidak perlu menjadi basah karena ulah gerimis.

"Hi kalian dua perempuan keren, ini Luna. Teman Sa waktu kuliah di Amrik. Mama dan Mommy baik-baik saja kan di sana? Thalia makin lucu sekarang. Sa dan Thalia baik-baik saja di sini,” bisikku sembari meletakkan buket mawar putih di pusara, buket bunga yang sama dengan yang ada di dalam genggaman Luna, lalu memanjatkan doa untuk Mama dan Lidya.

"Luna, apa kau tahu seperti apa kematian bagi saya?" tanyaku retoris. "Kematian bukan akhir dari segalanya. Kematian tidak perlu meninggalkan luka. Mama dan Lidya memang telah pergi, tapi mereka tidak pernah hilang,” lanjutku.

Luna tidak menjawab. Kali ini ia tidak mampu menyembunyikan air matanya. Saya membiarkan Luna berdamai dengan gemuruh di dadanya. Saya telah menyadari bahwa Luna sedang berjuang melawan sebuah penyakit sejak ia meminta saya menjadi kuasanya dalam issue euthanasia. 

"I know Luna. Saya tahu. Satu yang kamu tidak tahu. Bagi saya andai besok kamu harus pergi, sehari bersamamu pun cukup," bisikku membathin.

"Yuk kita pulang. Kita singgah di warung bebek goreng kesukaan saya di sekitar sini. Saya lapar. Ya?" ajakku sambil mengelus-ngelus perut dan memasang wajah meringis.

Luna tersenyum. Senyum pertama sejak ia naik ke mobil saya dari kantor siang ini. Sebelum kami melangkah pergi, Luna meletakkan buket mawar putih itu di depan pusara Lidya. 

“Aku ngak bawa apa-apa. Kamu tak keberatan kan, jika buket ini kuberikan pada Lidya?” tanyanya.

“Tentu tidak. Terima kasih, Luna,” jawabku sambil menahan haru. Buket bunga yang didekap erat di depan dada sejak dari kantorku, dia letakkan tanpa ragu di pusara Lidya.

Ah, Luna. Kisah ini masih panjang. Dan saya akan menjalaninya sampai selesai.

~Ditulis oleh 
Jey Andaru, diedit oleh Tania Luna.

#LunaAir

IMLEK 2018 (109).

Imlek di Jakarta, lagi. Tak semeriah di kota kelahiranku, saat semua orang saling datang mengunjungi, memakai baju baru, sepatu baru, dan semua serba baru. 

Di sini tidak ada yang perlu kukunjungi. Jadi hari libur ini hanya perlu kuisi dengan bermalas-malasan sepuas hati.

Pukul 07.00 pagi, saat aku mulai membuka HP-ku, ada 2 pesan masuk mengucapkan Selamat Tahun Baru Imlek padaku. Satu dari Yudhis. Satu lagi dari Gege. Kubiarkan tanda centang biru di sana tanpa kubalas.

“Bencilah padaku, agar lebih mudah bagimu untuk melupakanku.”

Aku teringat pandangan Sa saat melihatku meletakkan buket mawar putihnya ke atas pusara Lidya, istrinya. 

Aku tak membawa apa2. Jadi kuberikan buket pemberian suaminya itu kepadanya. Aku tak pernah mengenalnya. Sa hanya sekilas menceritakan padaku kalau istrinya meninggal beberapa minggu setelah melahirkan Thalia karena infeksi kanker serviks.

“Kematian tidak perlu meninggalkan luka,” kata Sa. Tapi walau bibirnya mengucapkan kata-kata itu, kulihat luka di matanya.

Tak ada kematian yang tidak meninggalkan luka, Sa... Apalagi kematian orang yang sangat kau cintai.

Buket bunga yang telah menyentuh hatiku begitu dalam, kuberikan pada dia, yang pernah memilikimu, Sa. Dia yang telah mengubahmu menjadi pria seperti yang sekarang ada di hadapanku.

Aku meraih teleponku. Dan membuat video call, untuk mengucapkan Selamat Imlek pada keluarga. Menjalankan kewajibanku sebagai yang lebih muda. AngPao sudah kutransfer sejak kemarin malam.

Imlek kali ini, akan kunikmati sendiri.

#TaniaLuna
#LunaAir

TULIP MERAH (110).

Segera setelah selesai meeting dengan klien, saya menuju J Resto. Malam ini saya akan bertemu dengan Luna. 

Pukul 7 tepat saya sampai. Petugas di lobby J Resto memberitahukan kepada saya bahwa meja pesanan saya sudah siap dan Luna baru saja datang.

Saya menuju meja yang disiapkan.

"Hi, Luna... Selamat malam. Terimakasih sudah tepat waktu. Mau pesan dulu atau kita langsung bicarakan urusan surat kuasa? Saran saya kita pesan makanan dulu. Sirloin di sini enak. Mau?" kata saya membuka percakapan sambil memberi tanda kepada pelayan bahwa kami telah siap memesan.

Makan malam pun dimulai. Saya sengaja mengisinya dengan obrolan-obrolan ringan sebab percakapan setelah makan malam pasti akan semakin berat. Kemudian makanan penutup mulai dihidangkan. Ini saatnya untuk membicarakan issue euthanasia.

"Luna, kita anggap ini interview awal saya kepadamu sebagai klien. Tolong jelaskan kenapa kamu ingin menjadi pemohon izin euthanasia ke negara?"

Luna menjelaskan kepada saya tentang riwayat penyakitnya, dan juga apa yang dia tahu tentang orang-orang dekatnya yang juga penderita kanker dan akhirnya meninggal karena penyakit itu. Tapi saya tidak melihat ada nada keputusasaan pada setiap kalimatnya. Luna ingin berbuat agar penyintas penyakit memiliki pilihan yang lebih luas di negara ini.

"Ok. Luna. Saya setuju. Besok kita bisa menandatangani surat kuasa untuk saya. Saya bersedia menjadi kuasa hukum kamu.”

"Bagaimana dengan biayanya, Sa?"

"Tidak perlu kamu pikirkan itu Luna. Segera setelah kampanye issue ini kita gulirkan, urusan dana tidak menjadi masalah."

"Maksudnya?"

"Kamu paham bukan, issue euthanasia ini issue global. Jaringan kita di USA dan Aussie dengan senang hati membantu."

"Baiklah, Sa. Saya serahkan semua padamu."

"I think we need fresh air now. Kamu mau pergi dari sini? Dan seperti biasa, saya minta kunci mobil kamu. Orang saya yang akan mengantarnya pulang. Kamu ikut saya ke sebuah tempat," ajak saya. Luna setuju.

Saya membawa Luna ke sebuah bukit di tepi kota. Tempat saya merenung ketika butuh waktu untuk sendiri. Dari bukit itu kita dapat melihat hingar bingar kota tanpa harus terganggu oleh kebisingannya. Ada sebuah kursi kayu panjang yang diletakkan di sana oleh seseorang.

Saya membuka pintu belakang mobilku dan mengambil sebuah buket tulip merah. 

“Luna, ini untukmu. Terimakasih sudah memberikan buket mawarmu untuk Lidya. Ini gantinya untukmu," bisikku sambil memberikan buket itu padanya. "Kamu tidak perlu menghadapi semua ini sendirian. Kamu bisa mengandalkanku untuk melewati ini bersamamu,” kataku pelan.

“Then give me a hug now," kataku sambil tersenyum padanya, membuka tanganku. Luna memelukku. Erat. Tangisnya pecah di dalam pelukanku.

"Terimakasih, Sa,” lirih suaranya berbisik.

Angin malam, bulan pucat dan bangku kosong di atas bukit yang mendengarkan percakapan ini tentu akan paham bahwa kata-kata saya kepada Luna adalah sebuah kesungguhan.

~Ditulis oleh 
Jey Andaru, diedit oleh Tania Luna.

#LunaAir

LULUH (111).

Buket tulip merah itu tergelatak di atas meja. Buket bunga ke-2 dari Sa. Aku menatap WA yang masuk ke hp-ku kemarin. Belum kubalas. 
“Terima Kasih,” kuketikkan kata itu dan menekan tombol reply. Tak ada lagi perasaan marah dan benci dan juga semua drama itu. 

“Kau tak perlu menghadapi semua ini sendirian. Kamu bisa mengandalkan aku,” kata-kata Sa menghangatkan hatiku. Kamu bisa mengandalkan aku, katanya. Dan tangisku pecah karena sebaris kalimat itu.

Selama ini aku selalu mengandalkan diriku sendiri. Berjuang dari garis terbawah. Meraih semua mimpi yang sebelumnya ditertawakan oleh banyak orang-orang yang meremehkan kemampuanku.

Dimulai dari Mama, tidak perlu kuliah, katanya. Selain tak ada biaya, setelah kuliah pun belum tentu kau bisa dapat kerja. Lalu disuruh pulang. Menikahlah dengan Nathan, katanya. Tak ada gunanya kau mengejar karir. Lalu kemudian, jangan sekolah tinggi2, nanti susah cari suami. Jika memang ingin melanjutkan kuliah S2, menikahlah dulu, dan sekolahlah dengan ijin suamimu. 

Aku menuliskan impian-impianku di dalam sebuah buku. Bermimpilah (saja). Kata mereka. Tak akan menjadi nyata semua mimpimu, kata mereka lagi.

Aku hanya butuh sedikit bantuan dan banyak keraguan dari mereka. Keraguan yang kemudian menumbuhkan sayap di punggungku. Menghadirkan keajaiban untukku.

“Kamu bisa mengandalkan aku”. Kata-kata dari Sa itu membuat pertahananku pecah. Ah. Selama ini tak pernah ada seorang pun yang mengucapkan kata-kata itu padaku. Karena selama ini aku cukup kuat untuk mengandalkan diriku sendiri. 

Tulip merah itu masih tergeletak di sana. Masih kuingat hangat pelukannya saat itu. Dan air mataku yang tumpah di sana. Aku menangis seperti anak kecil di hadapannya. 
Bukankah kau bilang aku bisa mengandalkanmu? Aku lelah untuk selalu menjadi kuat, Sa. Dan sekali ini, aku mulai berpikir, tak mengapa terlihat lemah di hadapanmu.

Tulip merah itu masih tergeletak di sana, bersama hatiku yang tak lagi berpura-pura untuk selalu tampak kuat.

#TaniaLuna
#LunaAir

CANGKIR KOSONG (112).

Sudah berjalan 2 bulan sejak pertama kali Luna memberi kuasa kepada saya dan rekan dalam hal euthanasia. Draft permohonan judicial review itu sudah hampir sempurna setelah mewawancarai beberapa calon saksi dan ahli. Di antara para saksi yang saya temui adalah dokter yang menangani Luna, dr. Alex. Dari keterangannya saya semakin paham apa yang terjadi pada Luna.

Hari ini saya mengundang Luna ke kantor saya untuk evaluasi terakhir sebelum mengajukan permohonan tersebut.

"Ini hasil kerja tim saya, Luna. Kamu bacalah dulu," kataku kepada Luna sambil menyerahkan satu bundel berkas permohonan JR euthanasia.

"Sambil kamu baca, saya tinggal ya. Saya ada meeting di ruang sebelah. Anggap saja ruang kerja saya ini ruangan kamu juga. Boleh?" lanjutku, Luna mengiyakan. "Buat dirimu nyaman, saya tidak akan lama, paling balik lagi tahun depan,” pamitku mencandai Luna. Ia mendelik. Ah, Luna. Kamu manis saat sebel. Itulah mengapa saya suka membuatmu sebel.

Tidak sampai sejam saya mengusaikan meeting dengan klien lain. Saya kembali menemui Luna. Saya mendapatinya sedang memegang foto saya, Lidya dan baby Thalia yang saya letakkan di meja kerja saya.

"Maaf, Sa. Aku tidak bermaksud mengacak-ngacak barang-barang kamu," kata Luna buru-buru meletakkan kembali foto itu ke atas meja kerjaku.

"Hei... Tidak apa, Luna. Foto itu diambil saat Thalia berumur 7 hari," kataku menjelaskan. "Lihat senyum Lidya. Dia nampak bahagia saat Thalia hadir. Saya yakin Lidya juga tersenyum saat kamu memberikan buket mawar putihmu untuknya," lanjutku.

Luna tersenyum. Ia nampak sangat hati-hati memberi respon. Mungkin takut membuka kembali lukaku? Entahlah.

"Tidak terasa seminggu lagi Thalia akan ulang tahun yang ke-7," saya mengalihkan pembicaraan.

"Oh ya? Dia semakin gemesin. Kadang aku kehilangan kata-kata saat dia ngoceh," jawab Luna sambil tertawa.

"Iya. Thalia jadi lebih ceria saat ada di dekatmu, Luna."

"Ah, emang anaknya ceria koq, Sa."

"Haha! Itu pujian Luna. Terimalah."

"Iya deh. Iya. Kalau kamu memaksa."

"Ya. Saya memaksa. Seperti saya memaksa mengajakmu atas nama Thalia ke Singapura minggu depan. Kita rayakan ultah Thalia di sana. Bagaimana?” ajakku.

"Thalia atau kamu yang ngajak, Sa?"

"Apa perlu saya bawa kamu ketemu Thalia biar kamu dengar sendiri darinya?"

"Halah, paling juga kamu ajarin dia buat ngomong. Percuma."

"Ummm... Kamu kalau ngomong koq suka bener sih? Haha! So? Would you?"

"Iya deh... Kamu keberatan tidak, Sa, kalau aku sekalian check up di Mount Elizabeth? Aku butuh second opinion...”

“Tentu saja tidak, Luna,” jawabku cepat. 

Yes! Ultah ke-7 Thalia nanti akan menjadi sangat spesial bagi Thalia. Mungkin juga bagi saya. Mungkin.

~Ditulis oleh 
Jey Andaru, diedit oleh Tania Luna.

#LunaAir
BIRTHDAY THALIA (113).

Malam ini birthday special bagiku. Senyum tak lepas dari wajahku. Selama ini aku hanya bisa menduga dan mengira-ngira seperti apa rasanya melalui hari lengkap bersama papa dan mama, seperti yang dilalui teman-temanku. Selama ini aku hanya bisa menyembunyikan rasa iri dalam-dalam di sudut hati ketika melihat teman-temanku digandeng papa dan mamanya sekaligus. Tetapi hari ini berbeda. Hari ini aku bisa merasakan bagaimana bahagianya kedua tanganku digenggam erat oleh orang-orang yang menyayangiku.

Ya, aku sayang sama Anty Luna. Awalnya aku takut Anty Luna akan merebut Daddy dariku. Makanya waktu pertemuan kami di taman bermain dekat apartemen hari itu, aku tak ingin beramah tamah dengannya. Selama ini banyak perempuan yang berpura-pura baik padaku, padahal hanya berniat mengambil hati Daddyku. 

Tapi Anty Luna ternyata berbeda. Sepanjang hari di Ancol kemarin membuktikan padaku bahwa dia sama sekali tidak berniat mengambil hati Daddy. Sikapnya tulus. Senyumnya tulus. Tidak keganjenan sama Daddy. Aku suka. 

Makan malam ini, adalah perayaan ulang tahunku. Daddy sudah memesan meja dengan sedikit hiasan istimewa dan menu khusus bagi kami bertiga. Tidak lupa sebuah birthday cake kecil yang cantik dengan sebentuk lilin angka 7 yang menyala di atasnya.

"Ayo Thalia, make a wish lalu tiup lilinnya,” Daddy berkata kepadaku. Sementara Anty Luna dengan tersenyum manis turut mengangguk kepadaku, memintaku segera make a wish.

"Baiklah. Thalia akan make a wish dulu yaa,” kataku sambil menangkupkan jemari di depan dadaku.

"Pertama, Thalia ingin cepat besar dan pintar seperti Daddy. Kedua, Thalia ingin Daddy selalu sehat dan bahagia. Ketiga....." sampai di situ aku tidak bersuara. Aku mengatupkan kedua mataku, tertunduk dengan kedua tangan masih terkepal erat di depan dada, dengan khusuk memanjatkan permohonanku. Anty Luna dan Daddy saling bertukar pandang bertanya-tanya tentang apa yang kuminta, tetapi aku ingin permintaan ke-3 ini hanya menjadi rahasiaku saja.

Akhirnya aku membuka mataku dan tersenyum. Lalu meniup lilinku. Kami bertiga bertepuk tangan, Daddy dan Anty Luna memberikan ucapan selamat dengan pelukan dan kecupan di kening dan pipiku.

"Boleh Thalia meminta sesuatu kepada Daddy dan Anty?” tanyaku penuh permohonan. 

"Ya, tentu saja Thalia. Katakan saja,” Anty Luna menjawab dengan senyum, disusul anggukan kepala oleh Daddy. 

“Aku ingin foto bersama dengan Anty Luna dan Daddy, bertiga, Anty dan Daddy mencium pipi kiri dan kananku... Boleh?”

Daddy dan Anty Luna saling berpandangan dan langsung mengiyakan. Aku senang sekali. Aku selalu iri setiap kali melihat foto-foto seperti itu di dalam buku cerita yang kubaca. Dan aku ingin merasakan hal tersebut nyata di dalam hidupku. Setidaknya, di ulang tahunku yang ke-7 kali ini, aku bahagia karena keinginanku yang ini bisa dikabulkan oleh Daddy dan Anty Luna.

~Ditulis oleh 
Larra Khinanti, diedit oleh Tania Luna.

#LunaAir

THE THIRD WISH (114).

Malam sudah semakin larut saat kami mengantar Thalia kembali ke kamarnya. Kamar yang sudah dihias dengan tema kesukaan Thalia. Sengaja dipesan Sa kepada pihak hotel untuk menyempurnakan kebahagiaan putrinya.

"Anty, maukah Anty menemani Thalia sejenak disini?" Thalia bertanya padaku seraya menepuk kasur di sisinya. Thalia tahu bahwa aku akan segera meninggalkan kamarnya setelah membantunya mengganti baju, menemaninya menggosok gigi dan menyelimutinya dengan rapi.

"Daddy yang akan menemani Thalia seperti biasa ya. Biarkan Anty Luna kembali ke kamarnya,” Sa segera menjawab permintaan Thalia.

"Tetapi malam ini, Thalia ingin ditemani Anty," kata Thalia setengah merengek dengan mimik wajah yang memelas.

Aku melihat Sadewa merasa sedikit serba salah, sepertinya dia takut aku merasa keberatan. Tetapi aku sama sekali tidak merasa keberatan. Aku jatuh sayang pada gadis kecil itu sejak pandangan pertama. Jika ada yang menarik pada diri Sa, maka itu adalah gadis kecilnya ini.

Aku menyibakkan selimut Thalia dan ikut masuk ke dalamnya, rebah di sisinya dan memeluk tubuh kecilnya dengan hangat. Aku suka wangi shampoo rambutnya. Hidungku mengendus-ngendus kulit kepalanya yang berambut lebat itu. Thalia menatapku dan kemudian kami tertawa bersama melihat Sa yang bengong melihat kelakuan kami, lalu kemudian ikut tertawa.

"Baiklah Thalia, Anty sudah bersedia menemani Thalia. Kalau begitu Daddy keluar dulu ya,” Sa berkata sembari mengelus kening putrinya. Sa tidur sekamar dengan Thalia. Aku diberikan kamar sendiri di sebelah.

"Nggak boleh, Daddy juga harus ikut menemani Thalia disini,” Thalia menjawab sembari menepuk kasur di sisinya yang lain lagi. Sa tampak serba salah. Dia menatapku seolah meminta pendapat. Akhirnya aku mengangguk pelan, tak tega mengecewakan keinginan Thalia. Sa mengambil tempat di sisi Thalia yang lain, dan kemudian membiarkannya bercerita tentang teman-teman di sekolahnya kepada kami.

Thalia seolah tak lelah berceloteh. Ada saja hal-hal yang dikomentarinya. Selesai dengan teman sekolahnya, dia kemudian bercerita tentang pramugari cantik di dalam pesawat dan cita-citanya ingin menjadi pramugari, hingga cerita tentang sepasang sepatu di Orchard Road yang tak jadi dibelinya karena ukuran untuknya habis. Dari binar matanya, aku tahu Thalia sangat bahagia hari ini.

"Thalia, tadi saat make a wish, mengapa yang ketiga Thalia tidak mengucapkannya?" Tiba-tiba aku mengingat moment itu, dan menanyakannya. “Kamu minta apa?”

"Ha..ha..haaaa.." Thalia tertawa sembari menarik selimut menutupi mukanya dan kedua kaki dengan cepat dihempaskan ke kasur secara bergantian.

"Aihhh, kog malah tertawa. Boleh Anty tahu apa permohonan Thalia?” tanyaku lagi.

"Ra-ha-si-a,” jawab Thalia dengan mimik yang menggoda.

"Ayolah Thalia, Daddy juga ingin mendengarnya,” Sadewa ikut menimpali pembicaraan kami. Wajah penasarannya terlihat lucu.

"Eemmm..." Thalia menatap kami bergantian. Diraihnya tanganku dan diletakkan di atas perutnya. Setelahnya diambilnya tangan Daddynya dan diletakkan di atas tanganku. Sementara tangannya sendiri digunakan sebagai pengikat kedua tangan kami. Digenggamnya erat kedua telapak tangan yang dipersatukannya itu.

Aku mendadak gugup namun tak mampu berbuat apa-apa. Tanganku seolah mendadak kaku di atas perut Thalia.

"Aduh Saaa.., semoga kamu tak merasakan jemari tanganku yang mendadak dingin dan gemetaran,” aku berdoa dalam hati.

~Ditulis oleh 
Larra Khinanti, diedit oleh Tania Luna.

#LunaAir

BESOK, BESOK DAN BESOK LAGI (115).

Kemudian Thalia dengan tempo suara yang lebih perlahan berkata: “Thalia ingin kita dapat terus selalu bersama-sama. Besok, besok, besoknya lagi, besoknya lagi dan terussssss besoknya lagi. Nggak abis-abis besoknya, Thalia ingin kita terus bersama-sama. Bolehkan, Anty?” tanyanya dengan binar mata setulus malaikat. Aku tak tahu harus berkata apa, selain hanya mengangguk sembari tersenyum kepada Thalia. 

"Ya sudah, sekarang Thalia tidur yaa. Kita sudah terlalu lelah di sepanjang hari ini. Besok ngobrolnya kita lanjut lagi,” Sa berkata pelan kepada putrinya.

"Oke.." Thalia mengatur posisinya dan mulai memejamkan matanya. Namun sejenak kemudian dibukanya kembali mata itu lebar-lebar. "Daddy.., Daddy lupa sesuatu,” katanya seraya menyentuh keningnya dengan telunjuknya sendiri.

"Oh iya. Met bobok ya kesayangan Daddy. I love you,” Sa berkata lirih seraya mengecup lembut kening putrinya. Thalia tersenyum dan tangannya segera meraih leher Daddynya saat kepalanya ditarik menjauh usai mengecup keningnya.

"Daddy.., belum. Satu lagi kiss untuk Anty Luna. Daddy belum memberikannya,” kata Thalia sambil menunjukku yang rebah di sampingnya. 

"Whattt..?" Reflek aku mengangkat tubuhku menghadap Thalia karena terkejut dengan perkataan gadis kecil itu.

"Pleaseee, Thalia sayang Anty Luna. Daddy juga sayang Anty kan? Please Anty... " Thalia berkata dengan tatap memelas yang penuh harap. 

Ah. Lagi-lagi aku tidak tega untuk mengecewakannya. Tetapi mengabulkan permintaan Thalia juga bukan perkara mudah untukku. Aku tak ingin Sa salah sangka kepadaku. 

"Nite Luna.." tiba-tiba begitu saja kecupan Sa mendarat dengan lembut di keningku. Aku tergagap. Aku gugup dengan dada yang kalang kabut. Ada desir hangat menjalar di dadaku ketika lembut bibir Sa menyentuh keningku. Duh! 

Aku melirik Sa. Dan dia tersenyum nakal. Sepertinya dia menikmati kesempatan yang diberikan oleh Thalia kepadanya. Damn! Aku sibuk menenangkan degup jantungku, sementara Thalia dengan tersenyum manis kembali memejamkan matanya, setelah permintaannya dikabulkan oleh Daddynya.

~Ditulis oleh 
Larra Khinanti, diedit oleh Tania Luna.

#LunaAir


JANGAN MENCINTAIKU (116).

Thalia sudah terlelap. Pelan-pelan aku menarik tanganku dari atas perut Thalia. Kuberikan ciuman di kening gadis kecil itu sebelum akhirnya dengan hati-hati aku beringsut bangun dan berdiri, kemudian berjalan keluar kamar, meninggalkan Sa bersama putrinya.

Aku memilih balkon sebagai tempat menenangkan debar-debar jantungku setelah kecupan Sa tadi. Dari sini dapat kulihat dengan jelas keindahan lampu-lampu malam di Singapura. Beberapa kali aku menarik nafas dan kemudian menghembuskannya dengan cepat. Berharap dengan demikian dapat menetralkan perasaanku. Aku menyentuh keningku, tempat bibir Sa mendarat lembut sekejab tadi. Rasanya malah lebih hangat daripada pelukan kemarin di atas bukit, dan lebih indah daripada sebuket bunga Tulip Merah.

"Ada apa Luna?" tiba-tiba suara Sa terdengar persis di samping telingaku. Bahkan bisa kurasakan hangat nafasnya di pipiku. Reflek aku memalingkan wajahku dan menatap mata Sa yang tampak seperti menertawakanku. 

Apa dia melihatku menyentuh keningku dan mengenang kembali momen itu? Duh! Jadi keGRan kan dia?! 

"Owh, tidak ada apa-apa. Aku hanya sedang mencari angin,” balasku cepat.

"Bagaimana perasaanmu malam ini? Semoga Thalia tidak merepotkan dan membuatmu kesal. Saya sungguh khawatir kau akan mengambil tempat pertama di hatinya menggantikanku,” kata Sa.

“Hah? Lebay. Aku tidak akan merebut Thalia darimu. Dan tidak akan juga merebut kamu dari dia,” tukasku cepat. “Jangan cemburu padaku, Sa.” 

Sa tertawa. Ah. Hari ini dia banyak tertawa. Dan entah mengapa tiba-tiba aku merasa pasti akan ada banyak perempuan yang akan cemburu padaku jika tahu dia ada di sini bersamaku.

“Mau kubikinkan kopi, Sa?” tanyaku. Sa mengangguk. Aku berjalan ke dapur apartemen, mengambil dua cangkir dan dua saset kopi, lalu menambahkan air panas dari dispenser. 

“Jangan sampai Thalia jatuh cinta padaku... Aku tidak ingin dia menderita karena kehilangan...” Aku menggumankan kata itu pelan, sambil menyerahkan secangkir kopi pada Sa.

Sa menatapku. “Karena kau sekarat?” tanyanya dingin. Ada nada marah di sana. Tatapan matanya tampak menakutkan sehingga aku tak berani langsung menjawab pertanyaannya itu. “Karena kau sekarat, lalu kau berniat membuatnya benci padamu agar tidak merasa kehilangan dirimu? Bagaimana caranya, Luna?” Sa menatapku tajam. Tanpa sadar aku mundur selangkah...

~Ditulis oleh Tania Luna, terima kasih untuk inspirasi dari Larra Khinanti dan Lakshmi Daanisha Wijayanti, yang kutulis ulang agar sesuai dengan karakter Luna.

#LunaAir
I WILL SURVIVE (117).

“Karena kau sekarat?” Pertanyaan itu diulang oleh Sa setelah melihatku diam.

Aku menghela nafas sebelum akhirnya menjawab, “Ya.”

“Lalu kau ingin membuatnya membencimu?”

Aku diam. 

“Kau juga ingin membuatku membencimu?” tanya Sa. 

Aku masih diam. Nada dingin dalam suaranya membekukan tubuhku. 

“Kukira kau terlalu tinggi menilai dirimu, Luna,” kata Sa. “Aku mencintai Lidya dan kemudian dia meninggal setelah melahirkan Thalia.. Apakah kau melihatku sekarat dan mati karena kehilangan?” Aku tertegun. Tak tahu harus menjawab apa. Bagaimana aku bisa tahu keadaanmu waktu itu, Sa? Akhirnya aku hanya menggeleng pelan. “Lalu mengapa kau kira kami tidak bisa melanjutkan hidup jika kau mati?” lanjutnya. Aku kehilangan kata-kata. 

“I am not fine. But I will survive. Bukan kami yang harus kau lindungi dan kau khawatirkan. Tapi dirimu!” 

Sa maju selangkah. Kami sekarang tanpa jarak. Aku mundur lagi selangkah. Jika tadi aku tak ingin dia mencintaiku karena aku tak ingin dia menderita karena kehilangan, mengapa saat ini yang kurasakan malah kecewa dan sakit hati mendengar jawabannya? Mengapa tiba-tiba aku terluka mendengar pengakuannya bahwa jika aku mati pun, dia akan tetap baik-baik saja?

Mengapa?! Mengapa??!!

Apa maumu, Luna?!! 

#TaniaLuna
#LunaAir

EGOISLAH, LUNA (118).

“Penyesalan terbesar di dalam hidup ini, bukanlah pada apa yang sudah kau lakukan, tetapi justru pada apa yang tidak berani kau lakukan,” kata Sa.

“Dan keberanian terbesar, bukan pada keberanianmu untuk mencintai orang lain, melainkan keberanianmu untuk menerima cinta dari orang lain. Berhentilah membangun benteng. Aku tak punya banyak waktu untuk mencintaimu lagi..”

Lalu dia menarikku. Kedua tangannya ditangkupkan ke pipi kiri dan kananku. “Kau boleh tinggal jika kau mau tinggal, kau boleh pergi jika kau mau pergi. Aku dan Thalia tak akan menjadi beban bagimu. Apakah dia ingin mencintaimu atau tidak, apakah aku ingin mencintaimu atau tidak, itu urusan kami, bukan urusanmu. Itu masalah kami, bukan masalahmu.”

Aku diam. 

“Cukup jelas?” tanyanya, lagi, memaksa.

Aku mengangguk. Dan kehilangan kata-kata ketika dia menarik wajahku mendekat dan mencium keningku, lagi. 

Malam semakin larut. Di langit sana, ada bulan. Tapi kini dia tak lagi tampak sendirian, karena ada langit yang mencintainya..

Egoislah, Luna, kali ini saja. Milikilah langit itu untukmu sendiri.

#TaniaLuna
#LunaAir

SECOND OPINION (119).

Ditemani oleh Sa dan Thalia, pagi ini kami menuju ke Mount Elizabeth. Aku sudah bikin janji dengan dokternya via internet sebelum berangkat ke Singapura. Dokter Tan adalah dokter ahli bedah payudara. Dengan membawa hasil pemeriksaaan dari Jakarta, kami berkonsultasi tidak begitu lama dan setelah itu dr Tan menyarankan untuk melakukan Biopsi. Biopsi adalah pengambilan sel kanker dengan menggunakan jarum untuk dilakukan tes lebih lanjut untuk mengetahui jenis sel kanker dan metode pengobatan yang pas. Akhirnya kami memutuskan untuk melakukan biopsi di klinik dr. Tan. 

Setelah itu kami ke RadLink di Paragon yang berlokasi di depan rumah sakit Mount E. Proses PET Scan cukup lama kira-kira 3-4 jam. Sebelumnya aku sudah dipesankan untuk berpuasa, hanya boleh minum air putih 6 jam sebelum menjalankan PET Scan. 
Sepanjang waktu itu, Sa cukup telaten menemani Thalia. 

Untuk kemungkinan menjalani kemoterapi, kami dirujuk ke dokter yang lain, dr Yap. Dokter Yap meminta kami menjalankan beberapa pemeriksaan sebelum bisa memutuskan tindakan apapun, di antaranya adalah: PET Scan (sudah dilakukan saat dari Dr Tan), MRI Brain/Otak, Echo Jantung, Biopsi (sudah dilakukan saat dari Dr Tan) dan Fist Test.

Aku harus mengambil hasil biopsi dan PET scan dulu dari dr. Tan kemudian kami kembali ke tempat dr Yap untuk menggabungkan hasil test dari dr Yap. PET scan tidak direkomendasikan untuk pasien kanker payudara, tetapi dapat digunakan untuk mengevaluasi pasien secara dini pada pasien dengan metastase atau kanker payudara rekuren (berulang). 

Aku sudah memberitahukan pada dr. Yap bahwa aku ke sana bukan untuk menjalani kemoterapi, tetapi ingin mencari second opinion dulu sebelum memutuskan tindakan selanjutnya. Karena itu, setelah semua pemeriksaan itu selesai, aku meminta agar dokter Yap mengirimkan hasil analisanya kepadaku lewat email, karena aku sudah harus kembali ke Jakarta lagi. 

Hari yang cukup melelahkan, dan aku bersyukur, ada Sa dan Thalia menemaniku sepanjang hari itu. Gadis kecil itu sama sekali tidak terlihat merengut atau kesal. Dia bisa mencari kesibukan sendiri dengan smartphonenya, dan bermain di taman rumah sakit bersama Daddynya. 

“Mencintaimu adalah urusanku.” Kata-kata Sa semalam masih terngiang di telingaku. Tiba-tiba aku ingin tahu, Sa, cintakah kau padaku? 

Aku ingin bertanya padamu, “Apa kau mencintaiku?” Tapi pertanyaan itu tak pernah berani kutanyakan, karena akan terdengar seperti “ngarep”. Dan alasan lain yang membuatku menahan tanya itu di dalam hati, karena aku sendiri pun belum tahu, cintakah aku padamu.

Sore ini aku belum cinta. Mungkin lusa.

#TaniaLuna
#LunaAir

Sumber tulisan:

https://www.mountelizabeth.com.sg/
http://www.medisata.com/mount-elizabeth-hospital-singapura/
http://transferfactorformula.com/pengobatan-kanker-payudara/
http://moderncancerhospital.co.id/kisah_pasien_kanker_payudara/
http://sarisukmawati.blogspot.co.id/2009/02/pet-scan-dan-second-opinion-di.html
http://transferfactorformula.com/pemeriksaan-pet-scan/
https://dirikuwanita.wordpress.com/2010/05/06/pemeriksaan-lanjutan-pada-kanker-payudara/
http://dokternuklir.blogspot.co.id/2013/04/bisa-gak-sih-petct-dilakukan-pada.html

MENIKAHLAH DENGANKU (120).

Sudah beranjak malam saat kami tiba di apartemen sewaan setelah seharian saya dan Thalia menemani Luna konsultasi ke dokter ahli kanker payudara. Luna nampak sangat antusias. Mungkin karena banyak informasi baru yang ia dapatkan. Sepertinya rasa takut di matanya sedikit demi sedikit memudar. Takut hanya ada dalam pikiran. Pengetahuan lebih tentang sesuatu yang ditakuti akan sangat membantu. 

Thalia cepat tidur malam ini. Mungkin ia sedikit kelelahan. Luna mengantarnya tidur, saya membiarkan mereka dan memilih menunggu Luna di balkon.

"Hei, melamun saja kamu. Thalia sudah tidur tuh. Bahkan ia tidak mencari kamu," kata Luna sedikit mengagetkanku. 

"Sengaja. Seharian Thalia tidak punya waktu berdua denganmu. Kamu sibuk ngedate dengan om Dokter. Haha!" jawabku menggoda Luna.

"Kamu cemburu 
😏?" tanya Luna

"What? Pertanyaan apa itu. Saya tidak mungkin cemburu. You know me." 
😎

"Oh, jadi kamu tidak mungkin cemburu? Kata orang cemburu tanda cinta." 
🙁

"Damn! Omong kosong apa lagi itu. Cemburu tidak ada hubungannya dengan cinta. Atau... kamu ingin aku mencemburuimu?" 
🤔 🤭

Luna mengalihkan pandangannya. Wajahnya memerah. Saya mendekatinya lebih dekat lagi.

"Waktu kamu bersama Thalia tadi, saya menelpon dr. Yap dan bicara lumayan lama dengannya. Ia menjelaskan keadaanmu. Dari penjelasan dr. Yap saya melihat tidak ada alasan buatmu berhenti berusaha untuk sembuh."

"Oh jadi di negara ini rahasia antara dokter dan pasien sudah tidak ada lagi?” tukas Luna marah.

"Lupa? Saya ini kuasa hukummu Luna. Surat kuasa yang kamu tandatangani memberikan saya kewenangan untuk bicara dengan doktermu. Siapa pun itu."

Luna terdiam. 

"Sekarang saya minta padamu. Berhenti bersikap seperti akan mati besok. Jangan cengeng!"

"Apa pedulimu?" Luna tiba-tiba menjadi emosional. “Ini hidupku, Sa. Tidak ada hubungannya denganmu! Berhenti sok tau tentang aku!”

"Saya punya seribu alasan untuk itu jika kau minta penjelasan. Tapi apakah itu maumu. Sebuah penjelasan?"

"Ya. Apa pedulimu? Sebagai kuasa hukumku? Itu kan yang kau mau bi..."

Saya merengkuh pinggang Luna, menariknya ke arahku lalu mengecup bibirnya sebelum ia menyelesaikan kalimatnya.

"Karena saya mencintaimu, Luna," bisikku di telinga kirinya. "Mencintaimu setiap hari sampai selesai. Sampai habis jatah umur kita. Itu satu-satunya penjelasan untukmu."

Saya menatap matanya. Mencari jawaban jujur dari dalam jiwanya. Saya melihat ada cinta di sana. Cinta yang sembunyi di antara sekian banyak rasa takut dan keraguan yang menguasainya.

“Menikahlah denganku,” pintaku. Saya mencium bibirnya sekali lagi. Sejenak bibir itu terasa membeku di bibirku. Kedua tangannya mencoba mendorongku menjauh.

Kulepaskan ciumanku. “Ssssttt, Luna. Diamlah. Nikmati saja cintaku ini. Banyak yang menginginkannya, dan aku memilih memberikannya padamu. Aku tahu kau punya rasa yang sama padaku.”

Bening merebak di mata Luna ketika aku menunduk menciumnya kembali. Perlahan kurasakan bibirnya mencair, melembut, dan dia membalas menciumku. Semakin dalam, semakin erat jiwa saling bicara. 

Bulan pucat di atas langit Singapura menjadi saksi angkuh tembok dua hati telah runtuh oleh cinta. Itu bulan yang sama saat kau mendekap erat tulip merah yang kuberikan untukmu. Maka biarkan saja waktu berhenti malam ini. 

"Apa pun yang akan terjadi esok, terjadilah. Jangan takut, Luna. Aku akan menghadapinya bersamamu.”

"I love you, Sa.” 

https://youtu.be/fPJbDKj_cNg

THE END.

~Ditulis oleh Jey Andaru dan Tania Luna
#LunaAir

Terima kasih untuk kebersamaan selama 120 episode ini.

Semoga berbahagia, Luna dan Sa.