Rabu, 14 Maret 2018

THALIA PUTRISADEWA


IBU TIRI (1).

“Kau akan punya IBU TIRI?” Helen bicara dengan nada tinggi di telingaku. “Apa kau tak tahu kalau ibu tiri itu jahat? Seperti ibu tirinya Bawang Putih, ibu tiri Putri Salju, Cinderella…” Dia terus menyebutkan sederet nama dalam dongeng yang selalu kami baca bersama waktu kecil. 

“Anty Luna tidak akan jadi ibu tiri yang jahat!” bantahku kesal.

Helen mencibir. “Itu kan harapanmu. Karena kau ingin punya ibu. Coba lihat saja nanti. Nanti kau akan dimarahi kalau nakal, kau akan dicubitin kalau main game sampai malam, kau akan disuruh membereskan kamar dll.. dll..” 

Aku melotot marah. 

“Belum lagi kalau Anty Luna-mu itu punya anak sendiri. Kau tak akan dianggap ada lagi sama dia. Daddymu juga pasti akan lebih sayang sama adik bayimu itu,” lanjut Helen. “Kenapa sih kamu kepengen sekali punya ibu? Padahal aku malah iri pada kamu yang punya Daddy keren dan penuh perhatian, ngak seperti Papaku, yang tiap hari kerjaannya hanya bertengkar sama Mamaku, dan kalau tidak bertengkar, pasti masing-masing sibuk asik dengan hapenya...”

Aku cepat-cepat menghabiskan roti bekalku. Dalam bayanganku, berkelebat kisah Cinderella yang bahagia sebagai anak tunggal papanya, sampai mama tirinya datang dan merampas semua kebahagiaannya. Dalam kisah Cinderella itu, ada ibu peri yang baik hati dan pangeran tampan yang datang menolongnya. 

Bagaimana dalam kisah Thalia Putrisadewa? Akankah ada ibu peri yang datang menolong jika Anty Luna berubah menjadi nenek sihir?



SOFIA THE FIRST (2).

Minggu pagi Anty Luna datang ke rumah. Ketika melihatku, dia mengulurkan sebuah kantong padaku. 

“Apa ini, Anty?” tanyaku.

“DVD Princess Sofia The First,” Anty Luna menjawab sambil tersenyum. Dikeluarkannya DVD itu dari dalam kantong. “Kata teman Anty, anaknya yang seumur Thalia suka sekali nonton ini,” katanya lagi. 

Dia menunjuk seorang anak bergaun ungu di dalam sampul DVD itu. “Anty sudah nonton kemarin di rumah. Putri ini namanya Sofia. Judulnya Sofia The First, karena nama Sofia itu bukan nama untuk Tuan Putri.” 

Aku menatap DVD itu. Menunggu cerita selanjutnya. Anty Luna duduk di sofa, di sebelahku. Lalu melanjutkan ceritanya. “Sofia menjadi Tuan Putri, karena Mamanya, Miranda, menikah dengan Raja Roland II, yang punya dua anak, Pangeran James dan Putri Amber. Mama Pangeran James dan Putri Amber sudah meninggal…” 

“Kayak Mama Thalia?” tanyaku. 

“Iya, kayak Mama Thalia,” jawab Anty Luna.

“Coba nonton kalau sempat, nanti cerita ke Anty bagaimana filmnya. Ceritanya menarik lho. Lihat itu, kalung amulet ungu yang dipakai Sofia, diberikan oleh Raja. Dengan kalung itu, dia bisa bicara dengan binatang, dan bisa memanggil semua princess Disney ke tempatnya,” Anty Luna meneruskan ceritanya dengan semangat.

Aku meliriknya. Sebenarnya cerita ini buat anak-anak atau buat tante-tante, sih? Kok kayaknya malah Anty Luna yang ngefans sama Sofia??

“Nanti aku nonton kalau sudah selesaikan PR-nya, Anty. Terima kasih ya,” kataku akhirnya. 

“Perlu dibantu PRnya?” tanya Anty.

“Tidak perlu, Anty.”

“Oke.” 

Kembali aku meliriknya. Hmm.. kupikir.. Dia lebih cocok jadi kakakku daripada jadi Mommyku. 😏😏😏


JADI MOMMY ITU BERAT (3).

Aku menonton film Sofia The First pemberian Anty Luna. Dan aku menyukainya. Mama Sofia, Ratu Miranda, ternyata sangat baik. Putri Amber harus berbagi perhatian Raja dengan Sofia, dan Sofia juga harus berbagi perhatian ibunya pada putri Amber. 

Putri Amber bisa bersikap jujur pada perasaannya. Rasa irinya, rasa cemburunya, rasa tidak sukanya… Tetapi pada akhirnya, memiliki Ratu Miranda sebagai ibu dan Sofia sebagai adik perempuan, itu terasa sangat menyenangkan.

Ketika sore, Daddy dan Anty Luna pulang, aku sudah menonton beberapa episode lain yang kutonton langsung dari youtube. Kubayangkan Anty Luna sebagai Ratu Miranda. Daddy sebagai Raja Roland II. Dan aku sebagai Putri Amber. Aku tak sabar menunggu kedatangan Sofia sebagai adikku.

Setelah menyapaku, Daddy meninggalkan kami di ruang tamu, menuju ke ruang kerja. Ada beberapa dokumen yang harus dia siapkan untuk besok pagi, dan Anty Luna belum ingin diantar pulang.

“Aku akan nemenin Thalia sampai jam tidurnya, baru kamu antar aku pulang…” katanya pada Daddy.

Di kamarku, di atas tempat tidurku, sambil menonton film Sofia, tiba-tiba Anty Luna bertanya, “Gimana, bagus ngak film-nya?”
“Bagus, Anty. Aku suka sama Sofia. Anaknya baik dan pintar,” jawabku.

“Hmm.. Anty Luna suka sama Amber,” katanya.

“Lho, kenapa?” tanyaku heran.

“Amber itu keren. Dia Tuan Putri yang memiliki hati yang jujur. Saat dia tidak suka, saat dia cemburu, saat dia menyesal dan minta maaf… Anty Luna suka sama Princess Amber.”

“Tapi Amber itu sifatnya jelek, Anty. Dia itu iri sama Sofia,” tangkisku cepat.

Anty Luna tertawa. “Iya, ngak apa-apa kan kalau kita suka sama tokoh cerita yang berbeda?”

Aku diam. “Anty Luna… Akan jadi Mommyku? Kapan?” akhirnya kutanyakan hal itu padanya.
Anty Luna memelukku. Hidungnya digosok-gosokkan di ubun-ubun kepalaku. Aku tidak tahu mengapa dia suka sekali melakukan itu padaku, tapi entah sejak kapan, aku pun suka setiap kali dia melakukannya.

“Thalia… Pasti punya teman dekat di sekolah ya?” tanya Anty Luna, tak menjawab pertanyaanku.

“Iya, namanya Helen.”

“Ohhh. Pernah bertengkar sama Helen?” tanyanya lagi.

“Sering,” jawabku kesal, teringat pembicaraan kami kemarin.

“Helen punya adik?” tanya Anty Luna lagi.

“Ngak ada, Anty. Dia punya kakak perempuan satu,” jawabku. “Tapi dia ngak suka sama kakaknya. Kakaknya suka gangguin dia.”

Anty Luna tertawa. “Kakaknya itu pasti sayang sama Helen. Anty Luna yakin itu. Dan Anty juga yakin kalau Helen juga sayang sama kakaknya. Nanti suatu saat, Thalia akan bisa membuktikan kata-kata Anty ini.”

Lalu Anty Luna menghela nafas lalu menghembuskannya, “Thalia, Anty mau bikin pengakuan...”

“Apa, Anty?” tanyaku.

“Anty kayaknya ndak sanggup jadi Mommy Thalia. Jadi Mommy itu berat. Kita kasikan ke Dilan aja..” Anty Luna tertawa sendiri dengan leluconnya yang kuanggap tidak lucu itu. Emang Dilan itu siapa?! Melihat pandanganku, dia berhenti tertawa. Mukanya terlihat malu. “Jadi... maksud Anty... biarpun nanti Anty menikah dengan Daddymu... Thalia boleh tetap manggil Anty. Soalnya kalo jadi Mommy itu kan... Ndak boleh marah kalo Thalia nakal, ndak boleh nyuruh beresin kamar..”

Aku kaget. Anty Luna tau dari mana perkataannya Helen kemaren?!

Daddy mengetuk pintu kamar, “Sudah mau pulang?” tanyanya sambil menunjuk arloji di tangannya. Anty Luna mengangguk. Daddy masuk ke kamarku, memberikan ciuman selamat malam di keningku, lalu berkata, “Daddy antarin Anty pulang dulu ya, Thalia Darling..”

Aku mengangguk. Menarik selimutku, dan mencoba tidur. Masih bingung dengan perkataannya Anty yang belum selesai tadi...

#TaniaLuna
#ThaliaPutriSadewa

JAM TANGAN PRINCESS SOFIA (4).

Beberapa hari yang lalu, Helen menunjukkan jam tangan barunya padaku. 

“Lihat nih, dikasi Papi,” katanya padaku.

“Wuah, bagusnya. Jam tangan Princess Sofia!!” kataku iri. Keren sekali jam tangannya.

“Kamu suka?” tanya Helen.

“Aku suka bangetttttttt,” kataku cepat, bersemangat.

Helen melepaskan jam tangannya, lalu memberikannya padaku. “Ini, buat kamu. Aku ngak suka gambar dan warnanya,” kata Helen.

“Emang boleh?” tanyaku, ragu.

“Ya boleh laaah! Ini kan punyaku. Lagian kemarin kan kamu juga kasi aku boneka Princess Elsa-mu. Aku ngak suka Sofia,” kata Helen lagi. Aku menerimanya dengan senang hati.

Itu sudah kejadian beberapa hari yang lalu...

Aku masih memikirkan perkataan Anty Luna waktu itu. Terus terang, waktu Anty Luna bilang aku ngak usah panggil dia Mommy, diam-diam ada rasa lega di dalam hatiku. Biarpun aku ingin punya Mommy, tapi aku mulai meragukan kalau Anty Luna bisa jadi Mommyku. Dia baik sih. Cuma ya itu… Jauh dari gambaran idealku tentang “Ibu yang Sempurna”. Dia ngak bisa masak, ngak bisa nyanyi, ngak bisa main musik, ngak bisa iketin rambutku…

“Thalia Putrisadewa.” Suara Bu Guru memanggil namaku. Aku mengangkat jari telunjukku. “Ayo, kita ke kantor guru, Nak. Papamu sudah dihubungi oleh pihak sekolah juga, dan sebentar lagi akan datang…”

Ada apa? Tiba-tiba aku merasa takut. Tak pernah aku dipanggil seperti ini…
Dan di sinilah aku. Di kantor guru. Menjadi tertuduh.

Suara pintu kantor guru diketuk, dan Anty Luna muncul di hadapanku. “Pagi, Bu, saya Luna, walinya Thalia. Papanya sedang ada sidang yang tidak bisa ditinggalkan, jadi saya yang mewakilinya,” kata Anty Luna.

“Begini, Bu Luna. Ini Papanya Helen. Katanya, Thalia mengambil jam tangan Helen tanpa ijin…” Bu Guru membuka pembicaraan.

Aku menatap Helen dengan marah. “Dia yang memberikannya padaku!” Aku membantah sambil menangis. Helen diam tak bicara. Wajahnya tampak pucat ketakutan. Anty Luna menatapku.

“Jam apa ya?” tanyanya.

“Jam Princess Sofia warna ungu yang beberapa hari lalu diberikan oleh Helen, Anty,” aku menjawab pelan. “Masih ada di dalam tas sekolahku,” lanjutku.

“Bisa tolong bawa ke sini, Thalia?” tanya Anty Luna. Aku mengangguk, kembali ke kelasku, dan mengambil jam tangan Helen itu, lalu menyerahkannya ke Anty Luna.

Anty Luna menerima jam tangan itu, melihatnya sejenak, lalu menyodorkannya kepada Papanya Helen...

#TaniaLuna
#ThaliaPutriSadewa

MOMMYKU, LUNA (5).

Anty Luna menerima jam tangan itu, melihatnya sejenak, lalu menyodorkannya kepada Papanya Helen. 

“Saya tidak tahu apa yang dikatakan Helen tentang jam ini pada Bapak, tetapi saya percaya kata-kata Thalia bahwa Helen MEMANG memberikan jam ini padanya. Saya yakin baik Helen ataupun Thalia, sama sekali tidak tahu kalau jam tangan ini adalah barang mahal. Bukankah sudah biasa, anak-anak saling memberikan sesuatu pada temannya?”

Aku menatap Anty Luna. Tak menyangka dia akan percaya padaku...

“Tapi Helen bilang dia tidak memberikannya pada Thalia. Jam itu harganya Rp. 700 ribu dan baru beberapa hari saya belikan untuk dia,” kata Papa Helen.

“Sekali lagi, Pak. Saya ulangi. Saya percaya pada kata-kata Thalia. Dan saya yakin, Thalia Putrisadewa, tidak akan pernah mencuri barang orang lain. Saya juga tidak menuduh Helen membohongi anda, tetapi melihat dari cara anda bicara, saya dapat mengerti jika Helen terlalu takut untuk mengakui pada anda bahwa dia memberikan jam ini pada Thalia,” Anty Luna bicara dengan nada pelan dan datar.

“Ini jam tangannya sudah saya kembalikan. Saat ini saya tidak punya bukti untuk membela Thalia. Tapi jika nanti suatu hari Helen cukup berani untuk bercerita,” Anty Luna tersenyum pada Helen, “jika dia menyadari bahwa rasa takutnya telah membuat temannya dituduh sebagai pencuri, saya harap kita bisa bertemu kembali di tempat ini, dan anda, Bapaknya Helen, cukup berani untuk meminta maaf pada puteri saya ini.”

Air mataku tumpah. Anty Luna menyebutku “putri saya”. Aku menghambur dan memeluk Anty Luna.

“Sssttt. Tidak apa-apa, Thalia,” Anty mengelus kepalaku. “Saya ijin bawa putri saya pulang dulu ya, Bu. Kukira masalah ini bisa dianggap selesai kan, Bapak Helen?” Papa Helen mengangguk. Bu Guru juga mengangguk. Anty Luna menemaniku ke kelas dan mengambil tas sekolahku. Aku masih menangis, dan menggenggam kuat-kuat tangannya.

Anty Luna kemudian mengajakku ke Shirokuma Café di Grand Indonesia dan memesan semangkok besar ice cream buatku. Tidak sekalipun dia bertanya lagi tentang jam tangan itu. Dia hanya diam-diam duduk di sebelahku, sambil ikutan makan ice cream di mangkok besar itu.

“Terima kasih sudah percaya padaku…. Mommy…” Aku berkata lirih.

“Eh?!” Anty Luna.. ah.. bukan.. Mommy tampak kaget mendengar kata-kataku.

“Aku… boleh panggil Mommy?” tanyaku pelan. Aku takut dia menolaknya. Aku takut dia keberatan kupanggil Mommy. Aku takut dia ngak mau jadi Mommyku. Kemarin dia sudah bilang padaku, kalau jadi Mommyku itu berat...

Tapi lalu kulihat dia menggigit bibirnya, susah payah menahan air matanya yang jatuh di pipi, lalu memelukku. “Tentu saja, Sayang… Tentu saja…” katanya sambil menangis. Mommyku yang cengeng. Padahal tadi dia begitu gagah menghadapi Papanya Helen. Mommyku, Luna.

THE END.

#TaniaLuna
#ThaliaPutriSadewa

SUMBER:

https://www.facebook.com/tania.limanto2/media_set?set=a.1609959032456968.1073741939.100003286597577&type=3



Tidak ada komentar:

Posting Komentar